Artis Gunakan Fashion sebagai Panggung Kritik Sosial, Dari Diskriminasi Hingga Kekerasan
Jakarta — Di panggung publik, fashion bukan sekadar soal gaya atau tren. Beberapa artis kini mengambil sikap: mode jadi medium kritik sosial, menyuarakan isu-isu seperti diskriminasi, kekerasan, dan keadilan sosial. Koleksi busana dengan pesan kuat dari Lady Gaga sampai Hannah Al Rashid menunjukkan bahwa pakaian bisa menjadi bahasa protes yang efektif.
Fashion sebagai Bahasa Sikap
Beberapa selebriti memilih untuk menyampaikan pesan lewat pakaian ikon mereka. Mereka memakai pin, kaos, atau gaun dengan tulisan atau simbol yang mengundang perhatian sekaligus diskusi publik.
Contoh awal: Lady Gaga, yang sering memakai busana ekstravaganza dengan tema sosial atau politik. Saat memakai gaun daging mentah di VMAs 2010, Gaga bukan hanya mengejutkan dunia mode — ia membeli kontroversi sebagai alat kritik terhadap kebijakan “Don’t Ask Don’t Tell” di militer AS terhadap LGBT. Fashion menjadi media visual yang keras dan tak terabaikan.
Di Indonesia, Hannah Al Rashid memilih cara lebih sederhana namun tetap kuat: kaos dengan tulisan “Kuat itu #cewekbanget”, menolak stereotip bahwa perempuan lemah. Kaos ini jadi media protes halus terhadap norma-norma gender yang kerap membungkung kebebasan perempuan.
Dari Visibilitas ke Kesadaran
Pakaian dengan pesan sosial memang punya efek langsung: menarik mata dan memancing reaksi. Tapi artis-artis ini juga berharap pesan mereka lebih dari sekadar viral. Mereka berharap bisa:
- Membangun kesadaran: bahwa diskriminasi itu nyata, bahwa stereotip gender bisa menghentikan potensi seseorang, bahwa suara dari kelompok terpinggirkan layak didengar.
- Mendorong perubahan budaya: ketika seseorang di mata publik memakai kaos dengan pesan sosial, opini bisa berubah perlahan. Mode bisa jadi trigger diskusi di media sosial, di ruang publik, bahkan di rumah tangga.
- Mendorong politik dan institusi bertindak: fashion kritis bisa jadi pemicu agar regulasi, kebijakan, dan sikap institusi terhadap isu keadilan, hak asasi manusia, dan kesetaraan ikut diperbaiki.
Profil Beberapa Artis & Mode Kritik Mereka
Berikut beberapa contoh figur yang dianggap berhasil menggabungkan fashion dan suara kritik sosial:
Artis | Pesan Fashion | Catatan |
---|---|---|
Lady Gaga | Gaun daging (VMAs) untuk menyoroti diskriminasi terhadap LGBT dalam militer; gaun-gaun lain yang memakai kain, simbol yang provokatif. | Gaya Gaga ekstrem, tapi berhasil memancing perhatian global; konsekuensi pro dan kontra intens. |
Hannah Al Rashid | Kaos “Kuat itu #cewekbanget” sebagai kritik terhadap stereotip perempuan lemah. | Pesannya lebih lokal, mudah dipahami, cocok untuk audiens Indonesia; gaya sederhana tapi efektif. |
Pandji Pragiwaksono | Kaos hitam “Atasan Presiden Republik Indonesia” sebagai bentuk kritik terhadap gagasan bahwa Presiden adalah atas segalanya. | Ini lebih ke pengingat publik tentang kedaulatan rakyat; dalam konteks politik lokal, bisa sangat sensitif. |
Pink | Dukungan terhadap gerakan Black Lives Matter lewat fashion dan penampilan publik; memakai kaos atau simbol solidaritas. | Memanfaatkan visibilitas sebagai figur global; efeknya lebih kuat ketika dikombinasikan dengan aksi nyata. |
Respons & Tantangan
Menggunakan fashion sebagai medium kritik tentu datang dengan tantangan:
- Pro dan kontra publik: Beberapa orang mungkin merasa pesan itu provokatif atau tidak pantas, sementara yang lain memujinya sebagai keberanian.
- Komersialisasi pesan: Ada yang mempertanyakan apakah pesan sosial di pakaian hanyalah tren atau kampanye pemasaran, bukan benar-benar kepercayaan.
- Risiko backlash: Kritik bisa membawa konsekuensi — tuduhan, boikot, atau kritik keras di media sosial. Artis harus siap menghadapi dampak itu.
- Keterbatasan pesan: Tidak semua orang memahami konteks sosial atau sistem politik yang dimaksud, sehingga pesan mungkin disalahartikan.
Mengapa Trend Ini Makin Meluas
Beberapa faktor mempercepat munculnya praktik fashion sebagai kritik sosial:
- Media sosial & visual: Gambar menyebar cepat. Fashion yang provokatif atau simbolik akan cepat viral, sehingga artis melihat ini sebagai media yang punya dampak langsung.
- Kesadaran generasi muda meningkat: Pemuda lebih peka terhadap isu-isu sosial—gender, ras, lingkungan—dan mendukung figur publik yang punya sikap.
- Kreativitas dalam adaptasi simbol: Simbol seperti slogan di kaos atau pin kecil lebih mudah diakses dan diproduksi; artis bisa memakai ide dari komunitas, organisasi sosial, atau situasi aktual.
- Budaya selebritas sebagai influencer sosial: Artis tidak hanya entertainer, mereka dianggap figur teladan. Penampilan publik mereka di panggung, red carpet, media online, jadi tempat di mana mereka bisa menyuarakan nilai-nilai.
Etika & Saran untuk Artis & Publik
Agar praktik ini efektif dan mampu menyampaikan pesan dengan baik tanpa memicu kebingungan atau kontroversi yang tak produktif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Jangan hanya menggunakan fashion sebagai gimmick: pesan harus jelas, punya latar belakang, dan mampu dipertanggungjawabkan.
- Edukasi publik juga penting agar maksud pesan bisa diterima—misalnya lewat caption di sosial media, wawancara, atau kolaborasi dengan organisasi yang relevan.
- Kontinuitas: memakai satu kaos dengan pesan sosial sekali mungkin viral, tetapi perubahan lebih dalam datang kalau ada konsistensi dan aksi nyata di baliknya.
- Sensitivitas budaya dan konteks lokal: apa yang dianggap kritik positif di satu masyarakat bisa dianggap ofensif di masyarakat lain; perlu pemahaman lokal.
Kesimpulan
Fashion kini bukan sekadar soal tampil modis. Bagi banyak artis, ini cara untuk berbicara lebih keras, lebih simbolik, dan lebih langsung terhadap isu sosial penting seperti diskriminasi, kekerasan, dan keadilan.
Lady Gaga, Hannah Al Rashid, Pandji Pragiwaksono, dan banyak artis lainnya telah menunjukkan bahwa pakaian bisa menjadi media kritik publik — memancing diskusi, menggugah empati, dan bahkan menekan perubahan.
Untuk publik, penting melihat di balik busana: apa maksud pesannya, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana kita sebagai masyarakat meresponsnya. Karena ketika fashion dijadikan alat kritik — bukan hanya alat tampil — kekuatannya bisa jauh lebih besar.
