BeritaEkonomiteknologi

Meretas Monopoli Digital: Analisis Strategi ISP Surge dengan Program ‘Internet Rakyat’ Harga Rp100 Ribu

JAKARTA, 20 November 2025 — Pasar layanan fixed broadband di Indonesia, yang selama ini didominasi oleh segelintir pemain besar, kini menghadapi tantangan serius dari ISP pendatang baru, Surge, melalui peluncuran program ambisiusnya: Internet Rakyat dengan harga mulai dari Rp100.000 per bulan. Langkah ini bukan sekadar penawaran harga, melainkan manuver strategis yang bertujuan meretas jurang kesenjangan digital dan menggugat dominasi harga yang dianggap terlalu tinggi oleh konsumen kelas menengah ke bawah.

Program ini, yang menjanjikan akses Wi-Fi yang lebih terjangkau, memaksa analis pasar untuk kembali mengevaluasi peta persaingan. Pertanyaan mendasarnya adalah: Mampukah Surge, dengan pricing strategy yang agresif, mengganggu oligopoli pasar broadband dan benar-benar mewujudkan inklusi digital bagi rakyat?

“Strategi harga Rp100.000 adalah game changer. Ini menyentuh segmen pasar yang sangat besar—masyarakat yang selama ini hanya mengandalkan paket data seluler yang mahal atau paket broadband dengan harga di atas Rp250.000. Surge secara efektif mencoba membuka pasar baru yang sensitif harga,” jelas seorang analis telekomunikasi yang melihat potensi disrupsi ini.

Struktur Pasar dan Kebutuhan Inklusi Digital

Selama beberapa tahun terakhir, pasar fixed broadband di Indonesia menunjukkan kecenderungan oligopoli, di mana pemain besar menguasai infrastruktur serat optik dan mendikte harga. Kondisi ini menyebabkan biaya akses internet rumah tangga relatif mahal, menempatkan Indonesia pada peringkat rendah dalam hal keterjangkauan internet dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Kesenjangan ini menciptakan apa yang disebut kesenjangan digital (digital divide). Keluarga berpendapatan rendah seringkali tidak mampu membayar biaya langganan bulanan yang tinggi, sehingga membatasi akses mereka terhadap pendidikan online, informasi, dan peluang ekonomi digital.

Strategi ‘Internet Rakyat’ Surge beroperasi dalam dua kerangka utama:

  1. Ekonomi Skala: Untuk mempertahankan harga rendah, Surge kemungkinan mengandalkan model bisnis yang mengutamakan volume pelanggan yang sangat besar dan efisiensi biaya operasional (mungkin dengan fokus pada area urban padat atau memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada).
  2. Disrupsi Psikologis: Dengan menetapkan angka magis Rp100.000, Surge mengirimkan pesan yang kuat kepada konsumen bahwa internet cepat tidak harus mahal, memberikan tekanan psikologis kepada ISP incumbent untuk menyesuaikan harga mereka.

Tantangan Jaringan dan Keberlanjutan

Meskipun harga yang ditawarkan menarik, keberhasilan jangka panjang Surge akan sangat bergantung pada tantangan teknis dan keberlanjutan bisnis:

  1. Kualitas dan Kapasitas Jaringan: Tantangan terbesar dalam harga murah adalah menjaga kualitas layanan. Apakah jaringan Surge mampu menampung lonjakan traffic dari pelanggan baru tanpa mengurangi kecepatan dan stabilitas? Konsumen sering kali rela membayar sedikit lebih mahal demi stabilitas jaringan.
  2. Infrastruktur dan Capital Expenditure (Capex): Membangun atau menyewa infrastruktur serat optik memerlukan investasi modal yang sangat besar. Surge harus membuktikan bahwa model bisnis harga rendah mereka mampu menghasilkan margin yang cukup untuk membiayai pengembangan jaringan di masa depan tanpa mengorbankan kualitas.

Jika Surge berhasil menyeimbangkan harga agresif dengan kualitas jaringan yang memadai, program ‘Internet Rakyat’ ini akan memaksa ISP besar untuk melakukan down-pricing atau menciptakan paket khusus untuk segmen entry-level. Dampak akhirnya adalah peningkatan inklusi digital, di mana akses internet menjadi hak dasar yang terjangkau, bukan lagi kemewahan. Ini adalah pertaruhan yang akan mendefinisikan kembali masa depan internet rumah tangga di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *