Narasi Kelam dari Sumatra: 659 Nyawa Melayang, Ratusan Lainnya Masih Ditelan Bumi
JAKARTA, kilasanberita.id – Hujan yang mengguyur dataran Sumatra pada awal Desember ini bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Ia adalah lonceng kematian yang berdentang tanpa henti. Di balik kabut tebal yang menyelimuti pegunungan Bukit Barisan, sebuah tragedi kemanusiaan dalam skala yang mengerikan sedang terungkap perlahan, selapis demi selapis, seiring dengan surutnya air bah dan terangkatnya material longsor.
Angka-angka itu kini bukan lagi sekadar statistik di atas kertas laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mereka adalah ayah yang kehilangan anak, istri yang kehilangan suami, dan kampung halaman yang terhapus dari peta. Hingga Senin (2/12) siang, jarum kematian telah menunjuk ke angka 659 jiwa. Sebuah jumlah yang masif, yang menempatkan bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra kali ini sebagai salah satu catatan paling kelam dalam sejarah kebencanaan modern Indonesia.
Namun, horor yang sebenarnya mungkin belum berakhir. Di bawah timbunan lumpur pekat, di sela-sela puing rumah yang hancur lebur, dan di aliran sungai yang masih bergolak, nasib 475 manusia lainnya masih menjadi misteri. Mereka berstatus “hilang”—sebuah kata yang bagi keluarga korban mengandung dua sisi mata uang: harapan tipis akan mukjizat, atau penantian panjang akan kepastian jasad yang kian membusuk.
Lansekap yang Marah dan Medan Neraka
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam konferensi persnya tidak bisa menyembunyikan gurat kelelahan. Data yang ia paparkan adalah manifestasi dari “medan neraka” yang harus dihadapi tim SAR gabungan di lapangan. Sumatra bagian utara, khususnya yang membentang dari Aceh hingga Sumatera Utara, telah berubah menjadi zona merah yang nyaris tak bisa ditembus.
Bencana ini tidak datang tunggal. Ia adalah paket lengkap kehancuran: banjir bandang yang menyapu fondasi, disusul tanah longsor yang mengubur apa yang tersisa. Karakteristik bencana hidrometeorologi basah di wilayah tropis seperti Indonesia memang selalu kejam, namun kali ini alam seolah menumpahkan amarahnya sekaligus.
Tim penyelamat di lapangan menghadapi musuh yang tak kasat mata: waktu dan akses. Jalan-jalan utama yang menjadi urat nadi logistik terputus total—tertutup material longsor setinggi atap rumah atau ambles tergerus arus sungai yang meluap. Alat berat yang dikerahkan seolah bertarung melawan raksasa; satu titik berhasil dibuka, titik lain kembali runtuh. Di beberapa desa terisolir, pencarian bahkan masih harus dilakukan secara manual, mengandalkan cangkul, sekop, dan tangan telanjang, di tengah tanah yang masih labil dan berpotensi longsor susulan.
Duka di Empat Penjuru Mata Angin
Sebaran korban yang begitu luas menandakan betapa masifnya sistem cuaca yang menghantam pulau emas ini. Empat provinsi menjadi titik pusat petaka: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Aceh. Namun, Deli Serdang di Sumatera Utara menjadi saksi bisu pembantaian alam yang paling parah.
Di Deli Serdang, air bah datang seperti pencuri di malam hari, namun dengan kekuatan monster. Ratusan nyawa terenggut saat mereka terlelap. Infrastruktur yang dibangun puluhan tahun luluh lantak dalam hitungan jam. Sementara itu, di Karo, longsoran tanah menimbun pemukiman di lereng bukit, mengubah desa yang asri menjadi kuburan massal. Laporan dari lapangan menyebutkan, banyak jasad ditemukan dalam kondisi yang memilukan—berpelukan satu sama lain, atau tertimbun saat mencoba menyelamatkan harta benda yang tak seberapa.
Di sisi lain, Aceh Singkil dan wilayah pesisir lainnya menghadapi genangan yang tak kunjung surut. Bukan arus deras yang membunuh, melainkan hipotermia, penyakit, dan keterisolasian. Air merendam atap, memaksa warga bertahan di bubungan rumah atau mengungsi ke tempat yang lebih tinggi tanpa perbekalan memadai.
Anomali Cuaca atau Bom Waktu Ekologis?
Meskipun narasi resmi seringkali menunjuk curah hujan ekstrem sebagai kambing hitam tunggal, bencana dengan magnitudo sebesar ini memaksa kita untuk menengok lebih jauh ke hulu. Curah hujan memang pemicu (trigger), namun kondisi bentang alam adalah faktor kerentanannya (susceptibility).
Apa yang terjadi di Sumatra adalah kulminasi dari degradasi lingkungan yang berlangsung menahun. Hilangnya tutupan hutan di daerah tangkapan air (catchment area) Pegunungan Bukit Barisan membuat tanah tak lagi mampu menahan laju air. Hutan yang semestinya menjadi spons raksasa kini telah berubah fungsi menjadi perkebunan monokultur atau lahan tambang, membuat air hujan meluncur bebas, membawa serta tanah pucuk, bebatuan, dan batang pohon tumbang yang kemudian menjadi proyektil mematikan saat menghantam pemukiman di hilir.
Istilah “Banjir Bandang” sendiri mengindikasikan adanya sumbatan alami di hulu yang jebol. Sumbatan ini seringkali terbentuk dari material sisa penebangan atau longsoran kecil yang terakumulasi, menahan air hingga volume raksasa, lalu pecah dan menyapu segalanya di bawah. Ini adalah bom waktu ekologis yang meledak tepat saat curah hujan mencapai puncaknya.
Jutaan Pengungsi dan Ancaman Krisis Sekunder
Di luar angka kematian dan orang hilang, ada tragedi lain yang sedang berlangsung: krisis pengungsian. Data BNPB mencatat lebih dari satu juta orang terdampak. Ratusan ribu di antaranya kini memadati tenda-tenda pengungsian, gedung sekolah, dan balai desa.
Mereka yang selamat dari gulungan air kini harus bertarung melawan musuh baru: wabah penyakit, kelaparan, dan trauma psikologis. Sanitasi di kamp pengungsian darurat menjadi isu krusial. Ketersediaan air bersih sangat minim karena instalasi PDAM hancur dan sumur warga tercemar lumpur. Ancaman kolera, disentri, dan penyakit kulit mengintai, terutama bagi kelompok rentan seperti balita dan lansia.
Pemerintah pusat memang telah menetapkan status tanggap darurat. Bantuan mulai mengalir, namun distribusi di lapangan menghadapi kendala geografis yang pelik. Ada desa-desa yang hingga hari ketiga bencana masih belum tersentuh bantuan sama sekali, memaksa warga bertahan hidup dengan sisa makanan yang bisa diselamatkan dari lumpur.
Menanti Keajaiban di Ujung Masa Tanggap Darurat
Operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) biasanya memiliki “golden time” atau masa emas penyelamatan, yang umumnya berkisar 72 jam pertama. Kini, masa itu telah lewat. Harapan untuk menemukan 475 korban hilang dalam kondisi selamat semakin menipis, berganti menjadi misi kemanusiaan untuk memulangkan jasad mereka kepada keluarga agar dapat dimakamkan dengan layak.
Namun, menghentikan pencarian juga bukan pilihan yang mudah. Bagi keluarga korban, ketidakpastian adalah siksaan yang lebih kejam daripada kabar kematian itu sendiri. Mereka masih berdiri di pinggir zona merah, menatap alat berat yang menderu, menanti sepotong pakaian atau tanda fisik yang bisa dikenali dari orang-orang tercinta yang hilang.
Tragedi Sumatra di penghujung tahun 2025 ini harus menjadi tamparan keras bagi tata kelola bencana dan lingkungan di negeri ini. 659 nyawa (dan kemungkinan akan bertambah hingga menembus seribu jika korban hilang dinyatakan tewas) bukanlah harga yang pantas dibayar untuk sebuah kelalaian kolektif dalam menjaga keseimbangan alam.
Saat ini, langit Sumatra mungkin mulai cerah sesaat, namun tanah di bawahnya masih basah oleh air mata dan darah. Indonesia berduka, dan duka ini terasa begitu dalam, sunyi, dan panjang.
📌 Sumber: Diolah dari data resmi BNPB dan laporan CNN Indonesia (2/12/2025).
Related Keywords: banjir bandang sumatera utara aceh, data korban bnpb desember 2025, operasi sar banjir bandang, dampak kerusakan bencana sumatra, analisis lingkungan banjir.
