BeritaKriminalitas

Vonis Mati Karier Bhayangkara: Membedah Sanksi PTDH hingga Demosi dalam Kasus Pengeroyokan Debt Collector

JAKARTA, kilasanberita.id – Seragam cokelat itu seharusnya menjadi simbol pengayoman, bukan ketakutan. Namun, ketika seragam tersebut digunakan sebagai perisai untuk melakukan aksi main hakim sendiri, institusi Polri tidak memiliki pilihan lain selain melakukan “amputasi”. Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terkait kasus pengeroyokan terhadap debt collector atau “mata elang” (matel) akhirnya menjatuhkan vonis yang variatif namun tegas: mulai dari demosi (penurunan jabatan) hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Keputusan ini bukan sekadar administrasi kepegawaian biasa. Ini adalah manifestasi dari “bersih-bersih” internal yang sedang digalakkan di tubuh Korps Bhayangkara. Kasus yang melibatkan sejumlah oknum anggota Pelayanan Markas (Yanma) ini menjadi laboratorium nyata bagaimana Polri menangani “duri dalam daging” yang mencoreng citra institusi di mata publik.

Anatomi Sanksi: Mengapa Ada yang Dipecat, Ada yang Demosi?

Dalam putusan sidang etik, terlihat adanya gradasi hukuman yang disesuaikan dengan peran masing-masing pelaku. Hukuman terberat, yakni PTDH, dijatuhkan kepada inisiator atau pelaku utama kekerasan. PTDH adalah “hukuman mati” bagi karier seorang polisi. Ia tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan hak pensiun dan gelar purnawirawan. Ia dikembalikan ke masyarakat sebagai warga sipil biasa dengan catatan merah dalam riwayat hidupnya.

Sementara itu, sanksi Demosi bersifat fungsional. Anggota yang terkena demosi dipindahkan ke jabatan yang lebih rendah, atau ditunda kenaikan pangkatnya selama periode tertentu (misalnya 1 hingga 5 tahun). Sanksi ini biasanya diberikan kepada mereka yang turut serta namun bukan aktor intelektual, atau mereka yang membiarkan peristiwa itu terjadi.

Pembedaan sanksi ini menunjukkan bahwa Propam bekerja dengan prinsip keadilan proporsional. Tidak “gebyah uyah” (menyamaratakan), namun tetap memastikan setiap pelanggaran—sekecil apapun peran anggotanya—mendapatkan konsekuensi. Demosi, meski terdengar lebih ringan, sejatinya adalah “cacat karier” yang akan menghambat promosi jabatan strategis di masa depan.

Pesan Keras Melawan “Arogansi Korsa”

Kasus ini menarik karena pemicunya adalah gesekan dengan debt collector, sebuah profesi yang seringkali memiliki stigma negatif di masyarakat. Biasanya, ketika polisi berhadapan dengan premanisme jalanan, publik akan mendukung polisi. Namun, dalam konteks ini, publik justru mengecam polisi. Mengapa? Karena polisi bertindak menggunakan metode preman (pengeroyokan) untuk melawan apa yang mereka anggap preman.

Sanksi tegas ini mengirimkan sinyal bahwa Jiwa Korsa (solidaritas korps) tidak boleh disalahartikan sebagai solidaritas dalam kejahatan. Membela rekan sejawat yang bermasalah hutang-piutang adalah manusiawi, namun menyelesaikannya dengan mengeroyok penagih hutang adalah pelanggaran hukum berat.

Institusi Polri menegaskan bahwa monopoli penggunaan kekerasan (monopoly of violence) yang dimiliki negara hanya boleh digunakan dalam koridor penegakan hukum yang terukur, bukan untuk pelampiasan emosi pribadi atau kelompok.

Implikasi Bagi Kepercayaan Publik

Langkah cepat Propam menggelar sidang etik maraton dan mengumumkan hasilnya secara transparan patut diapresiasi. Di era citizen journalism di mana setiap warga bisa merekam dan memviralkan kebrutalan aparat, transparansi penindakan adalah satu-satunya cara meredam gejolak sosial.

Jika Polri lambat atau terkesan melindungi anggotanya, kepercayaan publik akan runtuh. Namun dengan adanya sanksi PTDH ini, Polri seolah berkata: “Kami tidak mentolerir premanisme, bahkan jika pelakunya adalah anggota kami sendiri.”

Akhir dari Impunitas?

Kasus pengeroyokan debt collector ini menjadi preseden penting. Ia menjadi peringatan bagi ribuan personel Polri lainnya di seluruh Indonesia. Bahwa lencana kewenangan bukanlah lisensi untuk bertindak sewenang-wenang.

Bagi anggota yang di-PTDH, ini adalah akhir yang tragis dari sebuah perjalanan pengabdian. Namun bagi institusi Polri, ini adalah langkah menyakitkan yang harus diambil demi menjaga kesehatan organisasi. Tubuh yang sehat harus berani membuang sel-sel yang rusak agar tidak menjalar menjadi kanker yang mematikan integritas kepolisian.

Kini, masyarakat menanti konsistensi. Apakah ketegasan serupa akan terus diterapkan pada kasus-kasus lain? Jika ya, maka slogan “Presisi” bukan sekadar jargon, melainkan janji yang ditepati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *