Ekonomi

Jaminan Konsistensi Fiskal: Analisis di Balik Janji Prabowo Bayar Utang Whoosh Rp 1,2 Triliun per Tahun

Jakarta— Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) selalu menjadi sorotan, bukan hanya karena kecepatan fisiknya, tetapi juga karena kecepatan penambahan biaya *(cost overrun) dan skema pendanaan yang melibatkan pinjaman besar. Ketika Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan dan kini kandidat terdepan, secara terbuka menjamin bahwa pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun per tahun untuk melunasi utang proyek Whoosh, pernyataan ini layak dibedah dari perspektif konsistensi kebijakan fiskal dan keberlanjutan infrastruktur nasional.

Pernyataan Prabowo, yang disampaikan dalam sebuah forum publik, seolah mengirimkan sinyal kuat kepada pasar domestik maupun kreditur internasional, terutama China Development Bank (CDB) sebagai pemberi pinjaman utama. Sinyal ini bukan sekadar janji politik, melainkan upaya mendefinisikan komitmen fiskal pemerintah mendatang terhadap proyek mercusuar yang telah terlanjur menjadi beban APBN.

Beban Utang dan Realitas Cost Overrun

Proyek Kereta Cepat yang didanai melalui skema Business to Business (B2B) ini pada akhirnya tetap menuntut campur tangan APBN setelah mengalami cost overrun yang signifikan. Pinjaman dari CDB yang harus dibayar pemerintah Indonesia (melalui PT Kereta Api Indonesia/KAI) merupakan bagian dari solusi atas pembengkakan biaya tersebut. Komitmen pembayaran Rp 1,2 triliun per tahun, jika dihitung, mencerminkan pemenuhan kewajiban utang pokok beserta bunganya, yang disepakati dalam skema pinjaman jangka panjang.

Pertanyaannya, mengapa jaminan ini muncul di tengah masa kampanye politik? Analisis mendalam menunjukkan adanya dua dimensi:

Dimensi Ekonomi: Jaminan dari figur calon presiden adalah upaya de-risking politik. Proyek Whoosh adalah investasi strategis yang vital. Dengan menjamin kelangsungan pembayaran, Prabowo berusaha meyakinkan investor dan kreditor bahwa transisi kepemimpinan tidak akan mengganggu komitmen fiskal negara. Ini adalah upaya menjaga kredibilitas utang Indonesia di mata global, sebuah langkah esensial mengingat besarnya kebutuhan Indonesia terhadap investasi dan pinjaman luar negeri untuk infrastruktur lainnya.

Dimensi Politik: Janji ini menegaskan konsistensi dukungan terhadap kebijakan infrastruktur Presiden Joko Widodo. Bagi Prabowo, yang berjanji melanjutkan program-program legacy Jokowi, penjaminan pembayaran utang Whoosh adalah manifestasi konkret dari komitmen tersebut, menepis keraguan bahwa proyek-proyek besar akan terhenti di tengah jalan.

Menelaah Konsistensi Anggaran Jangka Panjang

Alokasi anggaran tahunan sebesar Rp 1,2 triliun untuk utang Whoosh membutuhkan konsistensi dan disiplin anggaran yang ketat selama puluhan tahun ke depan, mengingat tenor pinjaman biasanya panjang. Dalam konteks APBN, alokasi ini harus bersaing dengan kebutuhan krusial lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan subsidi energi.

Pengamat kebijakan publik, Dr. Bima Santosa, menyoroti bahwa jaminan ini harus dikawal dengan mekanisme anggaran yang jelas. “Rp 1,2 triliun itu harus masuk dalam pagu anggaran yang tidak boleh diganggu gugat, terlepas dari siklus ekonomi atau perubahan prioritas politik,” ujarnya. “Jaminan Capres hanya berlaku jika kebijakan tersebut diikat oleh peraturan setingkat undang-undang atau Perpres jangka panjang yang kuat.”

Risiko utama terletak pada fluktuasi kinerja operasional Whoosh. Jika pendapatan dari tiket dan non-tiket Whoosh tidak mencapai proyeksi optimal—dipengaruhi oleh persaingan dengan moda transportasi lain, seperti Jalan Tol Cipularang—maka seluruh beban pembayaran utang akan ditanggung APBN. Rp 1,2 triliun per tahun adalah dana talangan yang harus disiapkan pemerintah, di luar risiko operasional yang ditanggung operator.

Tantangan Keberlanjutan Proyek

Jaminan pembayaran utang adalah satu sisi mata uang. Sisi lainnya adalah keberlanjutan dan profitabilitas proyek Whoosh itu sendiri. Agar utang tidak menjadi beban permanen, Whoosh harus mampu memaksimalkan potensi ekonomi di sepanjang koridornya. Pembangunan stasiun terpadu (Transit Oriented Development / TOD) dan integrasi moda transportasi di Jakarta dan Bandung menjadi kunci.

Jika Whoosh mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan mengurangi biaya logistik, maka angka Rp 1,2 triliun per tahun dapat dianggap sebagai investasi yang menghasilkan multiplier effect. Namun, jika proyek ini hanya menjadi “gajah putih” yang bergantung pada subsidi, maka janji pembayaran utang ini akan menjadi penguras likuiditas APBN.

Pada akhirnya, jaminan yang disampaikan oleh Prabowo adalah statement politik dengan konsekuensi fiskal yang nyata. Ini menandakan pengakuan resmi bahwa proyek Whoosh telah menjadi kewajiban negara yang harus dipertanggungjawabkan. Komitmen ini harus diimbangi dengan transparansi pengawasan dan efisiensi operasional, agar kecepatan Whoosh benar-benar berkorelasi positif dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya kecepatan menumpuk utang.

Related KeywordsKereta Cepat Whoosh, utang KCJB, pembiayaan infrastruktur, konsistensi fiskal, Prabowo Subianto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *