BeritaEkonomiteknologi

Luhut Sebut Whoosh ‘Barang Busuk’: Bongkar Masalah Kereta Cepat dari Awal

Jakarta, KilasanBerita.id – Kata “busuk” yang dilontarkan Luhut Binsar Pandjaitan terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh bukan sekadar sindiran pedas. Itu adalah pengakuan blak-blakan dari seorang figur yang pernah memimpin komite percepatan proyek tersebut. Pada Kamis (16/10/2025), di tengah acara peringatan satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Luhut—kini Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN)—mengungkap bagaimana ia mewarisi proyek yang sudah sarat masalah sejak awal. “Saya terima sudah busuk itu barang,” ujarnya, sambil mengisahkan proses audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta negosiasi ulang dengan China.

Pengakuan ini bukan isapan jempol. Whoosh, yang kini melaju di rel sepanjang 142 kilometer antara Halim dan Tegalluar, memang lahir dari ambisi besar: menghubungkan dua kota terpadat Indonesia dengan kecepatan hingga 350 km/jam. Tapi di balik keberhasilannya mengangkut penumpang—lebih dari 1 juta jiwa sejak operasional komersial pada Oktober 2023—terdapat lapisan demi lapisan kegagalan manajemen yang kini meledak menjadi isu utang miliaran rupiah. Polemik ini tak hanya soal angka, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap proyek infrastruktur nasional. Bagaimana sebuah mimpi modern transportasi berubah menjadi beban fiskal? Mari kita gali lebih dalam, dari akar masalah hingga upaya penyelesaian terkini.

Akar Masalah: Biaya yang Membengkak dan Janji yang Terlupakan

Semuanya bermula pada 2015, ketika Indonesia memilih tawaran China ketimbang Jepang. Proposal Beijing menjanjikan biaya US$5,13 miliar (sekitar Rp76,95 triliun pada kurs saat itu), jauh lebih murah daripada US$6,2 miliar dari Tokyo. Ini seharusnya menjadi kemenangan diplomatik, dengan skema business-to-business tanpa sentuhan APBN. Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan: “Kereta cepat tidak menggunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business,” katanya pada September 2015.

Tapi realitas berkata lain. Biaya awal yang disepakati US$6,07 miliar (Rp86,67 triliun) cepat membengkak. Pada awal 2021, Direktur Keuangan KAI Salusra Wijaya melaporkan ke DPR bahwa kebutuhan investasi melonjak menjadi US$8 miliar atau Rp120 triliun. Cost overrun sebesar US$1,2 miliar ini dibiayai melalui pinjaman tambahan dengan bunga 3 persen dari China. Apa penyebabnya? Kurangnya kajian mendalam di fase perencanaan, perubahan desain akibat kondisi tanah, dan ketergantungan pada kontraktor asing yang memaksakan revisi kontrak. Analis infrastruktur seperti Raya Timbul Manurung dari Institut Teknologi Bandung menyebut ini sebagai “jebakan klasik proyek megah: ambisi tanpa buffer risiko yang memadai.”

Janji tak pakai APBN pun ingkar. Pada 2022, pemerintah menyuntik Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp4,1 triliun ke PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk menutup lubang kas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Ini bukan bantuan kecil; itu adalah pengakuan diam-diam bahwa model swasta murni gagal. Luhut sendiri, yang ditunjuk Jokowi sebagai Ketua Komite Percepatan pada 2021 via Perpres 93/2021, mewarisi kekacauan ini. “Kita coba perbaiki, audit BPKP, lalu runding ulang dengan China,” ceritanya baru-baru ini. Tapi kerusakan sudah terlanjur dalam.

Serampangan dan Penundaan: Dampak di Lapangan yang Tak Terhindarkan

Pembangunan Whoosh tak luput dari kontroversi operasional. Pada Maret 2020, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menghentikan proyek selama dua minggu setelah menemukan pelanggaran keselamatan. Pilar LRT di KM 3+800 dibangun tanpa izin, berpotensi membahayakan pengguna Tol Jakarta-Cikampek. Sistem drainase yang buruk juga memicu genangan air dan kemacetan parah, terutama saat musim hujan. Surat penghentian bernomor BK.03.03-Komite K2/25 dari Komite Keselamatan Konstruksi jadi bukti nyata: proyek ini “serampangan,” seperti yang dikritik publik saat itu.

Pandemi Covid-19 memperburuk segalanya. Target selesai 2019 molor total. Pembangunan dihentikan pada 2020 untuk fokus penanganan virus, dan baru dilanjut pertengahan 2021. Operasional komersial pun mundur ke 17 Oktober 2023—empat tahun terlambat. Dampaknya? Biaya bunga pinjaman menumpuk, dan kepercayaan investor goyah. Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi pernah mengakui di Rapat Kerja Komisi VI DPR pada November 2022 bahwa balik modal butuh 38 tahun, lebih pendek dari masa konsesi 50 tahun dengan China. Ironisnya, setelah balik modal, keuntungan masih harus dibagi dengan mitra asing. Ini seperti membayar sewa rumah sendiri: menguntungkan jangka panjang, tapi menyakitkan di awal.

Di lapangan, cerita pengguna Whoosh bercampur aduk. Seorang komuter rutin seperti Andi, pekerja kantor di Bandung, mengaku senang dengan waktu tempuh 40 menit dari Jakarta. “Tapi tiket Rp350 ribu sekali jalan? Masih mahal untuk kelas menengah bawah,” keluhnya. Data KCIC menunjukkan okupansi rata-rata 60% pada 2024, jauh di bawah target 80%. Ini menambah tekanan pada arus kas, memperlemah kemampuan bayar utang.

Utang Miliaran: Beban yang Kini Meledak

Kini, inti masalah: utang. Pokok utang Whoosh mencapai Rp81,3 triliun, dengan cicilan tahunan Rp2 triliun untuk pokok dan bunga ke China. KCIC, joint venture KAI dan China Railway, kesulitan bayar karena pendapatan belum stabil. Polemik meledak ketika Danantara (Sovereign Wealth Fund Indonesia) mengusulkan skema restrukturisasi, tapi Menteri Keuangan Purbaya Yudha Sadewa tegas: tak ada APBN. “Danantara punya dividen BUMN Rp80-90 triliun setahun. Itu cukup,” tegasnya pada 15 Oktober 2025.

Luhut menimpali: “Siapa yang minta APBN? Tinggal restrukturisasi saja.” Ia mengusulkan model seperti LRT: tutup gap dengan dividen BUMN. CEO Danantara Rosan Roeslani sedang kajak tiga opsi, termasuk transfer utang ke pemerintah atau integrasi dengan proyek lanjutan Jakarta-Surabaya—yang kabarnya masih diminati China, asal utang tahap satu selesai. Kritikus seperti Gus Umar dari PKB menuding ini “lempar fitnah untuk sembunyikan kasus,” menyoroti peran Luhut dulu sebagai koordinator. Said Didu, mantan Sekjen Kementerian BUMN, menegaskan Whoosh adalah proyek pemerintah via Perpres 107/2015, bukan murni swasta.

Ekonom seperti Teguh Santoso dari UI melihat ini sebagai pelajaran berharga. “Proyek semacam Whoosh butuh feasibility study yang lebih ketat dan klausul risiko yang fleksibel. Kalau tidak, ambisi nasional bisa jadi jebakan utang.” Data BPS 2024 menunjukkan kontribusi transportasi terhadap PDB hanya 4,5%, tapi proyek seperti ini bisa dorong pertumbuhan jika dikelola baik—seperti membuka lapangan kerja 25.000 selama konstruksi dan TOD di sekitar stasiun.

Menuju Restrukturisasi: Harapan atau Tantangan Baru?

Pemerintah optimis. Presiden Prabowo disebut akan keluarkan Keppres untuk selesaikan utang, mungkin via Danantara. Studi pendahuluan Whoosh ke Surabaya sudah siap, berpotensi tambah 700 km rel dan investasi baru. Tapi tantangan tetap: transparansi data KCIC yang minim, dan risiko politik jika restrukturisasi gagal. Mantan Dirut KAI Didiek Hartantyo menyesalkan campur tangan politik yang bikin pemerintah ragu pisahkan kepentingan publik dari dinamika kekuasaan.

Whoosh bukan akhir cerita, tapi pengingat: infrastruktur megah butuh fondasi kuat, bukan janji manis. Luhut yang dulu penuh gairah saat peresmian 2023 kini bicara restrukturisasi—mungkin itu tanda kematangan. Bagi rakyat, pertanyaannya sederhana: akankah rel cepat ini benar-benar percepat kemajuan, atau justru jadi beban generasi mendatang? Saat ini, negosiasi dengan China terus berjalan, dan kita tunggu langkah konkret dari Danantara. Yang pasti, “barang busuk” ini harus dibersihkan sebelum membusuk lebih dalam.

(Artikel ini berdasarkan wawancara Luhut dan data terkini. Update restrukturisasi menyusul.)

Related Keywords: kereta cepat Whoosh, Luhut Pandjaitan kereta cepat, utang Whoosh, pembengkakan biaya KCJB, restrukturisasi utang kereta cepat, proyek kereta cepat Jakarta Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *