Berita

Venezuela Tolak Perang Meski Trump Gencar Provokasi: “No Crazy War, Please!”

Jakarta, 24 Oktober 2025 — Di tengah gemuruh ancaman militer dan tuduhan saling serang, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengulurkan tangan damai dengan seruan sederhana di depan serikat pekerja: “No crazy war, please!” Pesan itu, disampaikan dalam bahasa Inggris untuk didengar langsung oleh Washington, datang pasca serangkaian provokasi dari Presiden AS Donald Trump—dari operasi rahasia CIA hingga pengerahan pesawat pengebom di lepas pantai Karibia. Bagi Maduro, yang dituduh memimpin kartel narkoba, ini bukan sekadar pidato; ia adalah jeritan untuk menghindari eskalasi yang bisa menyeret seluruh Amerika Latin ke jurang konflik. Di balik retorika keras Trump, Venezuela bersiap dengan 5.000 rudal Rusia, tapi hati nurani rakyatnya berharap: damai, bukan perang.

Maduro, yang memimpin Venezuela sejak 2013 di tengah sanksi AS yang merenggut ekonomi negara itu hingga 80% PDB sejak 2015, tak mau ulangi kesalahan sejarah. “Ya damai, damai selamanya. No crazy war, please!” serunya di depan ratusan pekerja di Caracas, Jumat (24/10). Pernyataan itu merespons klaim Trump Kamis malam bahwa ia izinkan operasi rahasia CIA di Venezuela, termasuk pertimbangan “serangan darat” terhadap kartel narkoba. Trump, yang sejak kembalinya ke Gedung Putih Oktober lalu, telah tingkatkan tekanan pada Maduro, menuduhnya sebagai “pemimpin kartel” yang lindungi pengedar kokain ke AS. “Venezuela adalah ancaman, dan kami akan bersihkan,” tegas Trump, menambahkan bahwa serangan AS sejak 2 September telah tewaskan 37 orang di Karibia, termasuk dua warga Trinidad dan Tobago.

Serangan AS, yang diklaim sebagai “antinarkoba,” melibatkan delapan kapal dan satu semi-submersible yang ditargetkan di perairan Karibia dan Pasifik. Tapi bukti? Belum ada yang dirilis, memicu tuduhan dari Maduro bahwa ini “upaya pergantian rezim.” “Mereka ingin bunuh saya dan gulingkan pemerintah,” katanya, merujuk laporan intelijen AS yang klaim Maduro lindungi FARC Venezuela dalam jaringan narkoba. Venezuela, yang ekspor 500.000 barel minyak per hari ke AS meski sanksi, kini hadapi ancaman baru: kapal perang AS USS Gerald R. Ford dijadwalkan berlabuh di Trinidad dan Tobago 26-30 Oktober untuk latihan gabungan. Kementerian Luar Negeri Trinidad sebut ini “latihan rutin,” tapi Maduro lihat sebagai intimidasi.

Pengerahan militer AS makin gencar. Pada Kamis (23/10), pesawat pengebom B-1B terdeteksi terbang rendah di lepas pantai Venezuela, terlacak oleh Flightradar24 sebelum berbalik utara. Trump klaim “tidak benar,” tapi data menunjukkan pola: seminggu sebelumnya, B-52 terbang berputar-putar di wilayah yang sama, disebut “demonstrasi komitmen” AS untuk cegah “ancaman musuh.” Ini lanjutan dari serangan AS yang klaim hancurkan kartel, tapi kritik dari Amnesty International sebut 37 korban sipil, termasuk nelayan Karibia, sebagai “pelanggaran hak asasi.”

Venezuela tak tinggal diam. Menteri Pertahanan Vladimir Padrino umumkan 5.000 rudal Igla-S Rusia—senjata portabel anti-pesawat—siap di posisi pertahanan udara. “Ini untuk pastikan damai,” katanya di seremoni Rabu, di mana Maduro tunjukkan rudal itu sebagai “perisai rakyat.” Igla-S, dirancang jatuhkan pesawat rendah, sudah dites dalam latihan militer responsif terhadap AS. Venezuela, yang beli $4 miliar senjata Rusia sejak 2010, kini andalkan aliansi Moskow-Beijing untuk lawan sanksi Trump. “CIA ada di sini, tapi upaya mereka gagal,” tegas Padrino, menolak tuduhan Trump soal kartel.

Ketegangan ini akarnya dalam sejarah panjang. Sanksi Trump pertama (2017-2021) tekan Venezuela hingga hiperinflasi 1 juta persen, tapi Maduro bertahan dengan dukungan Rusia, Cina, dan Iran. Kembali berkuasa 2025, Trump tingkatkan: cabut pembatasan rudal untuk Ukraina, dan kini target Maduro sebagai “teroris narkoba.” Maduro balas: “AS ingin kudeta, tapi rakyat kami tak tunduk.” Di Caracas, demonstrasi anti-AS ramai, dengan ribuan dukung Maduro meski ekonomi susah: inflasi 50% dan kekurangan makanan.

Dampak regional luas. Trinidad dan Tobago, tetangga Venezuela, hadapi 2 korban AS serangan, dan latihan dengan USS Ford bisa picu protes. Kolombia, sekutu AS, khawatir migrasi Venezuela naik jika konflik meledak. Brasil, di bawah Lula, panggil duta AS untuk klarifikasi. Di Indonesia, analis seperti Hikmahanto Juwana bilang, “Ini bisa ganggu harga minyak global, naik 5% sudah bikin subsidi BBM tekanan.” Venezuela, produsen OPEC, ekspor 800.000 barel/hari ke Asia, termasuk Indonesia.

Bagi rakyat Venezuela, seperti Maria, ibu rumah tangga di Caracas, ini soal bertahan. “Kami ingin damai, bukan perang yang tambah susah. Trump bilang kartel, tapi kami cuma mau makan,” katanya, sambil antre roti di pasar hitam. Maduro, dengan popularitas 30%, andalkan retorika anti-imperialisme untuk satukan rakyat. Tapi Trump, dengan dukungan Republik, tak mundur: “Maduro harus pergi, atau sanksi lebih keras.”

Apakah ini menuju perang? Maduro harap tidak, dengan seruannya “damai selamanya.” Tapi di Karibia yang tegang, pesawat B-1B dan rudal Igla-S mengingatkan: satu kesalahan bisa jadi bencana. Dunia pantau: apakah Trump mundur, atau Maduro tekan tombol? Di balik ancaman, harapan damai tetap hidup—seperti pesan Maduro: no crazy war.

📌 Sumber: DetikNews, AFP, BBC, Reuters, Flightradar24, Amnesty International, diolah kembali oleh tim kilasanberita.id.

Related Keywords: Maduro Trump 2025, Venezuela perang AS, rudal Igla-S Rusia, operasi CIA Venezuela, serangan AS Karibia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *