Di Balik Truk Logistik PTPN IV: Mengirim 2 Ton Asa Menembus Isolasi Banjir Sumatra Utara
MEDAN, kilasanberita.id – Hujan yang mengguyur dataran Sumatra Utara sepanjang pekan ini seolah tak memberi jeda bagi bumi untuk bernapas. Sungai-sungai meluap, melabrak tanggul, dan mengubah bentang alam perkampungan menjadi lautan lumpur cokelat pekat. Di tengah kepungan air bah yang memutus akses dan melumpuhkan ekonomi warga, deru mesin truk pengangkut logistik menjadi suara yang paling dinanti, melebihi riuh rendah pidato pejabat mana pun.
Salah satu konvoi yang berhasil menembus medan berat tersebut membawa panji PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV). Perusahaan pelat merah yang kini bernaung di bawah Sub Holding PalmCo ini tidak datang dengan tangan kosong. Sebanyak 2,08 ton bantuan logistik digelontorkan untuk menyambung napas ribuan warga yang terdampak banjir bandang di sejumlah titik krusial di Sumatra Utara.
Angka 2,08 ton mungkin terdengar statistik belaka di atas kertas laporan tahunan perusahaan. Namun, jika dibedah lebih dalam, angka tersebut merepresentasikan ribuan piring nasi hangat, pasokan gula untuk energi, dan minyak goreng yang menjadi kebutuhan fundamental dapur umum di posko-posko pengungsian. Ini adalah kisah tentang bagaimana korporasi negara (BUMN) menjalankan peran gandanya: sebagai entitas bisnis yang mencari laba, sekaligus sebagai tangan panjang negara yang wajib hadir saat rakyat sedang terhimpit.
Respons Cepat di Medan Berlumpur
Penyaluran bantuan ini bukanlah operasi logistik yang sederhana. Banjir di Sumatra Utara kali ini memiliki karakteristik destruktif yang merusak infrastruktur jalan. Truk-truk pengangkut bantuan harus berjibaku melewati jalur yang licin, rawan longsor, dan sebagian tergenang air setinggi lutut orang dewasa.
Manajemen PTPN IV PalmCo, melalui Regional 1 dan Regional 2, tampaknya menyadari betul urgensi waktu (sense of urgency). Bantuan yang terdiri dari beras, gula pasir, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya itu dirancang untuk langsung menyasar kebutuhan fisiologis dasar korban. Dalam hierarki kebutuhan Maslow saat bencana, rasa lapar adalah musuh pertama yang harus ditaklukkan sebelum memikirkan rehabilitasi rumah atau pemulihan psikologis.
Langkah PTPN IV ini merupakan manifestasi dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun, berbeda dengan filantropi perusahaan swasta murni yang seringkali bersifat transaksional demi citra, posisi PTPN IV sebagai BUMN memberikan beban moral yang lebih berat. Perkebunan sawit mereka hidup berdampingan—seringkali berbatasan langsung—dengan desa-desa yang kini terendam air. Karyawan mereka adalah bagian dari masyarakat tersebut. Maka, penderitaan warga sekitar adalah gangguan langsung terhadap “rumah” mereka sendiri.
Filosofi “Pagar Mangkok” dalam Bencana
Dalam sosiologi pedesaan, dikenal istilah “pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok”. Artinya, hubungan baik dengan tetangga (masyarakat sekitar) adalah perlindungan terbaik bagi sebuah entitas, melebihi tembok beton sekalipun. Saat bencana melanda, filosofi ini diuji.
PTPN IV, yang mengelola ribuan hektare lahan di Sumatra Utara, memahami bahwa keberlangsungan bisnis mereka sangat bergantung pada stabilitas sosial lingkungan sekitar (social license to operate). Ketika banjir menerjang, bukan hanya kebun yang terancam, tetapi juga jaring pengaman sosial di sekitarnya. Dengan mengirimkan bantuan sembako secara cepat, PTPN IV sedang memperkuat “pagar mangkok” tersebut.
Tindakan ini mengirimkan sinyal bahwa perusahaan tidak hanya mengeruk hasil bumi Sumatra, tetapi juga mengembalikan sebagian hasilnya untuk membalut luka bumi tersebut. Ada ikatan emosional yang diperbarui antara manajemen kebun dengan warga desa penyangga. Di tengah kritik yang sering dialamatkan aktivis lingkungan kepada industri sawit terkait daya dukung lahan, aksi kemanusiaan semacam ini menjadi penyeimbang narasi yang krusial.
Sinergi BUMN: Orkestrasi Kebaikan
Apa yang dilakukan PTPN IV tidak berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari orkestrasi besar di bawah Kementerian BUMN yang mengusung tagline “BUMN untuk Indonesia”. Dalam situasi krisis nasional seperti bencana banjir Sumatra akhir tahun 2025 ini, BUMN seringkali menjadi garda terdepan karena mereka memiliki sumber daya yang tersebar hingga ke pelosok.
PTPN memiliki armada truk yang kuat, gudang logistik yang memadai, dan personel yang terbiasa bekerja di medan off-road. Keunggulan logistik inilah yang seringkali tidak dimiliki oleh lembaga amal biasa atau bahkan pemerintah daerah yang anggarannya terkadang terkunci birokrasi. Kecepatan PTPN IV dalam memobilisasi 2 ton bantuan dalam waktu singkat membuktikan kesiapan infrastruktur tanggap darurat mereka.
Bantuan ini diserahkan kepada pemerintah daerah setempat untuk didistribusikan. Langkah ini juga strategis untuk menghindari tumpang tindih penyaluran dan memastikan bantuan sampai ke titik yang paling membutuhkan berdasarkan data valid dari BPBD. Kolaborasi antara korporasi dan pemerintah daerah menjadi kunci efektivitas penanganan bencana.
Menakar Dampak Jangka Panjang
Meskipun 2,08 ton bantuan ini sangat berarti, ia hanyalah “aspirin” pereda nyeri sesaat. Tantangan sebenarnya bagi Sumatra Utara—dan bagi perusahaan perkebunan besar seperti PTPN IV—adalah pasca-bencana. Banjir yang kian sering terjadi ini merupakan alarm keras tentang degradasi lingkungan di daerah aliran sungai (DAS).
Publik berharap peran BUMN Perkebunan tidak berhenti pada fase charity (amal) saat bencana terjadi. Lebih jauh dari itu, PTPN IV diharapkan dapat menjadi pelopor dalam tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif dalam reboisasi hulu sungai, konservasi tanah, dan edukasi lingkungan kepada masyarakat sekitar adalah bentuk bantuan jangka panjang yang jauh lebih bernilai daripada sekadar mi instan dan beras.
Banjir adalah fenomena ekologis, bukan sekadar takdir. Oleh karena itu, solusinya pun harus bersifat ekologis. Namun, untuk hari ini, saat perut-perut lapar di pengungsian menanti jatah makan, inisiatif PTPN IV patut diapresiasi.
Bagi seorang ibu yang sedang mendekap anaknya yang kedinginan di tenda pengungsian Kabupaten Batubara atau Simalungun, kedatangan truk berlogo PTPN IV bukan sekadar membawa beras. Ia membawa pesan bahwa mereka tidak ditinggalkan sendirian dalam gelap dan dinginnya malam. Bahwa negara, melalui tangan-tangan perusahaannya, masih hadir untuk menyuapkan nasi dan menyalakan kembali harapan yang sempat hanyut terbawa arus.
Dan di tengah lumpur yang mulai mengering nanti, tugas berat menanti: membangun kembali, bukan hanya rumah, tetapi juga keseimbangan alam yang telah lama terganggu.
