Palu Akademik dan Jejak Digital Kebencian: Di Balik Keputusan DO Resbob dari UWKS Surabaya
SURABAYA, kilasanberita.id – Di era digital yang maha-terhubung ini, reputasi seseorang bisa dibangun dalam hitungan tahun namun hancur lebur hanya dalam durasi video beberapa detik. Aksioma kejam ini baru saja menimpa seorang mahasiswa berinisial R atau yang dikenal di dunia maya sebagai Resbob. Cita-citanya untuk menyandang gelar sarjana dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) kandas di tengah jalan, bukan karena nilai akademiknya yang anjlok, melainkan karena defisit etika yang fatal.
Keputusan Rektorat UWKS untuk menjatuhkan sanksi Drop Out (DO) atau pemberhentian secara tidak hormat kepada Resbob bukanlah keputusan yang diambil dalam ruang hampa. Ini adalah kulminasi dari kemarahan publik dan ketegasan institusi dalam menjaga marwah keberagaman. Kasus ini menjadi preseden penting bagaimana institusi pendidikan tinggi di Indonesia mulai menarik garis tegas: bahwa kampus bukan hanya tempat mengasah otak, tetapi juga bengkel untuk menempa adab.
Kronologi Kejatuhan: Dari Live Streaming ke Kantor Polisi
Insiden bermula dari sebuah sesi siaran langsung (live streaming) di media sosial TikTok. Dalam interaksi digital yang seharusnya menjadi ruang ekspresi bebas itu, Resbob melontarkan kalimat-kalimat yang menyerang kehormatan etnis Sunda. Diksi yang digunakan dinilai sangat provokatif, rasis, dan melukai perasaan kolektif masyarakat Jawa Barat.
Seperti api yang disiram bensin, rekaman video tersebut viral dengan kecepatan cahaya. Potongan video itu menyebar lintas platform, memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat Sunda, termasuk organisasi kemasyarakatan (ormas) kedaerahan. Tekanan publik tidak hanya berhenti di kolom komentar. Massa mendatangi kampus, dan laporan polisi pun dilayangkan.
Resbob, yang mungkin awalnya menganggap ucapannya sekadar “candaan tongkrongan”, tiba-tiba mendapati dirinya menjadi musuh publik nomor satu. Permintaan maaf yang disampaikannya—lengkap dengan meterai—tampak kerdil di hadapan besarnya gelombang kemarahan yang sudah terlanjur membesar.
Sikap Tegas Kampus: Menjaga Pilar Kebhinekaan
Respons Universitas Wijaya Kusuma Surabaya patut dicermati. Pihak kampus tidak memilih jalan kompromi atau sekadar memberikan skorsing. Dalam surat keputusan yang beredar, sanksi yang diberikan adalah tingkat terberat: pemberhentian sebagai mahasiswa.
Langkah UWKS ini mengirimkan sinyal kuat. Sebagai institusi yang menyandang nama besar kerajaan masa lalu dan berakar pada budaya Jawa, UWKS menegaskan bahwa toleransi terhadap intoleransi adalah nol (zero tolerance). Kampus menyadari bahwa membiarkan perilaku rasis tumbuh subur di lingkungan akademik sama saja dengan memelihara kanker yang akan menggerogoti nilai-nilai Pancasila.
Keputusan DO ini juga merupakan langkah mitigasi risiko reputasi. Jika kampus terlihat lembek, kredibilitas UWKS sebagai lembaga pendidikan yang inklusif akan dipertaruhkan. Dengan memecat Resbob, kampus “memotong” bagian yang sakit demi menyelamatkan tubuh institusi secara keseluruhan.
Fenomena “Digital Harakiri”
Kasus Resbob adalah contoh klasik dari fenomena yang bisa disebut sebagai Digital Harakiri—bunuh diri sosial melalui media digital. Generasi muda, yang sering disebut digital natives, terkadang lupa bahwa internet adalah ruang publik yang sesungguhnya. Mereka sering terjebak dalam ilusi anonimitas atau perasaan bahwa “internet hanyalah dunia maya”.
Padahal, jejak digital bersifat abadi dan memiliki konsekuensi hukum yang nyata (real-world consequences). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal tentang ujaran kebencian bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), menjadi pedang yang siap menebas siapa saja yang tergelincir lidahnya.
Apa yang dialami Resbob adalah pelajaran mahal tentang literasi digital. Bahwa kebebasan berpendapat (freedom of speech) tidak pernah berarti kebebasan untuk menghina (freedom to hate). Ada batasan hukum dan norma sosial yang tetap berlaku, bahkan di depan layar ponsel berukuran 6 inci sekalipun.
Pelajaran bagi Mahasiswa Indonesia
Tragedi akademik yang menimpa Resbob harus menjadi alarm bagi seluruh mahasiswa di Indonesia. Gelar mahasiswa adalah privilese yang membawa tanggung jawab intelektual dan moral. Masyarakat menuntut standar perilaku yang lebih tinggi dari seorang calon sarjana dibandingkan orang awam.
Hilangnya status mahasiswa Resbob bukan hanya kerugian materiil berupa biaya kuliah yang hangus. Ini adalah cacat dalam riwayat hidup (curriculum vitae) yang akan sulit dihapus. Pertanyaannya kemudian, perusahaan atau instansi mana yang mau mempekerjakan seseorang yang memiliki rekam jejak rasisme dan diberhentikan secara tidak hormat dari kampusnya?
Pada akhirnya, kasus ini mengajarkan kita satu hal fundamental: kecerdasan tanpa adab adalah malapetaka. Resbob mungkin kehilangan almamaternya, namun masyarakat luas mendapatkan pengingat berharga tentang pentingnya merawat lisan dan jempol di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini.
Related Keywords: kasus penghinaan suku sunda, universitas wijaya kusuma surabaya, sanksi drop out mahasiswa, uu ite ujaran kebencian, etika bermedia sosial mahasiswa.
