Kesehatan

Biologi Sintetis: Solusi Kesehatan & Lingkungan — Mengapa Regulasi Mendesak

Dalam menghadapi tantangan ganda krisis kesehatan dan lingkungan—termasuk penyakit baru, kehancuran ekosistem, dan perubahan iklim—bidang Biologi Sintetis muncul sebagai teknologi yang sangat menjanjikan. Namun, para peneliti dan pembuat kebijakan kini menegaskan bahwa potensi besar tersebut hanya dapat direalisasikan dengan aman jika diiringi regulasi yang serius dan kerangka pengelolaan risiko yang matang.


Apa Itu Biologi Sintetis dan Potensinya?

Biologi sintetis menggabungkan teknik rekayasa genetika, rekayasa seluler dan sistem biologis untuk merancang atau memodifikasi organisme hidup dengan tujuan tertentu—misalnya bakteri yang bisa menghancurkan polutan, atau tanaman yang tahan kekeringan. Studi dan dokumen kebijakan internasional menyebut bahwa teknologi ini memiliki potensi besar dalam:

  • Mengatasi penyakit menular atau penyakit yang tidak memiliki pengobatan efektif dengan menciptakan terapi biologis baru.
  • Mengembalikan atau memperkuat ekosistem melalui mikroorganisme yang bisa memecah zat berbahaya, memulihkan kualitas tanah, atau membantu konservasi spesies.
  • Memproduksi pangan, bahan bakar atau material ramah lingkungan yang lebih efisien dan berdampak rendah terhadap lingkungan.

Dengan demikian, biologi sintetis bisa menjadi “jalan pintas” untuk mengatasi hambatan-historis dalam kesehatan dan lingkungan.


Kendala dan Risiko yang Mengintai

Meski penuh potensi, biologi sintetis juga membawa risiko signifikan:

  • Pelepasan organisme hasil rekayasa ke lingkungan bisa menghasilkan konsekuensi yang tidak terduga — misalnya kompetisi dengan spesies asli, penyebaran gen baru atau resistensi antibiotik.
  • Teknologi ini juga berpotensi disalahgunakan (dual use) — misalnya manipulasi mikroorganisme untuk keperluan bioterorisme atau penciptaan patogen baru.
  • Regulasi dan pengawasan di berbagai negara masih belum seragam atau belum siap untuk melacak semua kemungkinan skenario. Laporan OECD menunjukkan banyak negara memiliki kerangka regulasi yang berbeda, sehingga penerapan teknologi baru bisa terhambat atau berisiko.
  • Dari sisi sosial-etika: siapa yang memiliki akses terhadap teknologi ini? Apakah akan memperlebar jurang antara negara maju dan berkembang? Apakah komunitas lokal dilibatkan dalam keputusan?

Kenapa Regulasi “Serius” Sangat Ditekankan?

Pakar menggarisbawahi bahwa tanpa regulasi yang baik, manfaat biologi sintetis bisa tertahan atau bahkan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dari masalah yang ingin diselesaikan. Beberapa alasan pentingnya regulasi serius adalah:

  • Keamanan biosistem: memastikan bahwa organisme hasil rekayasa tidak keluar dari lingkungan terkendali atau tidak meresap ke ekosistem alami tanpa pengawasan.
  • Kepastian hukum dan etika: misalnya soal hak kekayaan intelektual, distribusi manfaat teknologi, dan kewajiban terhadap masyarakat yang terdampak.
  • Transparansi dan partisipasi publik: agar masyarakat memiliki pengetahuan dan suara dalam penerapan teknologi yang bisa memengaruhi kesehatan dan lingkungan mereka.
  • Standar global & kerjasama internasional: karena teknologi ini bersifat lintas negara — apa yang dilakukan di satu negara bisa memengaruhi negara lain — maka perlu kerangka internasional yang selaras.

Contoh Aplikasi dan Tantangan Nyata

Di ranah kesehatan, penelitian menggunakan biologi sintetis telah menghasilkan terapi gen, sel buatan dan vaksin inovatif, yang bisa mengubah paradigma penanganan penyakit kronis. Namun, penerapan skala besar masih terkendala regulasi dan investasi.
Di sektor lingkungan, mikroorganisme rekayasa telah diuji untuk membersihkan polutan atau memperbaiki tanah rusak. Tetapi penggunaan di lapangan perlu penilaian risiko yang matang dan jangka panjang—termasuk dampak terhadap keanekaragaman hayati dan efektivitasnya dalam konteks lokal.
Misalnya, meski potensi besar, laporan OECD menyebut bahwa aplikasi skala besar masih terbatas karena peraturan, biaya dan ketidakpastian ekonomi.


Apa Tantangan yang Harus Diatasi?

Untuk mewujudkan potensi—dan meminimalkan risiko—perlu langkah-konkrit:

  1. Pembaharuan kerangka regulasi nasional: banyak negara masih merujuk ke regulasi lama (GMO) yang belum cocok untuk biologi sintetis baru — perlu revisi agar faster, fleksibel namun tetap aman.
  2. Pembangunan kapasitas ilmiah dan teknis: agar riset dan inovasi lokal tidak hanya bergantung pada impor teknologi dari negara maju.
  3. Pengawasan panjang dan evaluasi: teknologi yang dilepaskan ke alam harus dipantau selama bertahun-tahun untuk menilai dampak dan jika diperlukan ditarik.
  4. Keterlibatan publik dan dialog etika: supaya masyarakat memahami dan merasa memiliki teknologi ini, bukan hanya menjadi objek eksperimen.
  5. Pendanaan dan insentif yang seimbang: agar investasi di sektor biologi sintetis tidak hanya menguntungkan korporasi besar tetapi juga riset publik dan negara berkembang.

Pandangan untuk Indonesia

Bagi Indonesia, dengan keragaman hayati yang besar dan tantangan kesehatan publik serta lingkungan—mulai dari penyakit endemik hingga kerusakan ekosistem — biologi sintetis bisa menawarkan solusi strategis.
Namun penerapannya harus disertai regulasi yang adil, keahlian lokal yang memadai, dan konservasi yang memperhatikan aspek budaya dan sosial. Keterlibatan lembaga seperti universitas, LIPI/BRIN, serta dialog antara pemerintah, industri dan masyarakat sangat penting agar teknologi ini bisa berjalan secara bertanggung jawab.


Kesimpulan

Biologi sintetis berpotensi menjadi game-changer dalam menghadapi krisis besar di bidang kesehatan dan lingkungan. Namun potensi itu tidak dapat dilepaskan begitu saja tanpa kerangka regulasi yang matang, keamanan biologis yang terjaga, dan keterlibatan publik yang kuat.
Regulasi yang serius bukan penghambat inovasi — malah menjadi jembatan agar inovasi dapat berjalan dengan aman, efektif, dan memberi manfaat luas. Jika Indonesia dan dunia mengabaikan aspek regulasi dan etika, maka potensi besar biologi sintetis bisa berubah menjadi beban baru bagi kesehatan dan lingkungan.
Kini tantangannya bukan hanya “apa yang bisa dilakukan” oleh teknologi, tetapi “bagaimana cara melakukannya dengan benar” — agar ilmu dan masyarakat sama-sama diuntungkan, bukan dirugikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *