Ancaman Senyap di Balik Ekspansi Industri: Ekosistem Sabana Sumba di Ujung Tanduk
Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal dengan lanskap sabananya yang ikonik, kuda-kuda sandel yang liar, dan tradisi megalitik yang masih lestari. Ekosistem sabana, yang secara ekologis unik dan merupakan jantung budaya masyarakat Sumba, kini berada di bawah ancaman serius dan struktural. Ekspansi industri yang mengancam sabana Sumba terlihat dari bentuk perkebunan skala besar dan intensifikasi peternakan, yang mulai merusak keseimbangan alam yang rapuh, memicu krisis ekologi dan konflik sosial yang mendalam.
Isu ini memerlukan sorotan tajam, sebab kehancuran sabana Sumba bukan hanya hilangnya padang rumput, melainkan terancamnya sebuah model kehidupan adaptif yang telah bertahan ribuan tahun di wilayah kering tersebut. Konflik yang terjadi adalah pertarungan klasik antara modal besar yang berorientasi laba jangka pendek dan kearifan lokal yang berorientasi pada keberlanjutan.
Identitas Ekologis Sabana yang Terancam Punah
Sabana Sumba adalah ekosistem yang berbeda dari hutan tropis basah. Ia dicirikan oleh padang rumput yang luas dengan pepohonan yang tersebar jarang, sebuah kondisi yang terbentuk akibat kombinasi iklim kering, struktur tanah, dan praktik penggembalaan ternak tradisional. Secara ekologis, sabana berfungsi sebagai:
- Penyangga Air: Meskipun terlihat kering, sabana membantu penyerapan air hujan dalam volume besar saat musim hujan, mengisi kantong-kantong air tanah. Kerusakan sabana meningkatkan risiko banjir bandang di musim hujan dan kekeringan ekstrem di musim kemarau.
- Habitat Endemik: Sabana adalah rumah bagi spesies endemik Sumba, termasuk kuda sandel yang menjadi ikon, serta berbagai jenis burung dan reptil yang telah beradaptasi dengan lingkungan kering ini.
Ekspansi industri yang menjadi ancaman utama adalah konversi sabana menjadi lahan perkebunan yang memerlukan penyiapan lahan secara masif (pembukaan atau pembakaran) dan industrialisasi peternakan yang melebihi kapasitas daya dukung lahan.
Konflik Lahan Adat dan Pergeseran Fungsi Tanah
Jantung konflik di Sumba seringkali adalah masalah hak ulayat dan tumpang tindih izin. Masyarakat adat Sumba memiliki ikatan spiritual dan historis yang kuat dengan tanah mereka. Lahan sabana biasanya dikelola secara komunal, dengan aturan adat mengenai penggembalaan dan pemanfaatan sumber daya.
Masuknya investor besar untuk perkebunan, seperti tebu atau sawit (meskipun sawit tidak dominan di wilayah kering), atau proyek peternakan modern skala industri, seringkali terjadi tanpa konsultasi yang memadai (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) atau dengan proses perizinan yang kontroversial.
Implikasinya:
- Penyempitan Ruang Hidup: Tanah yang selama ini digunakan untuk penggembalaan komunal tiba-tiba dibatasi atau dipagari, menyebabkan overgrazing (kelebihan beban penggembalaan) di area yang tersisa, yang semakin merusak vegetasi.
- Perubahan Ekosistem: Penggunaan bahan kimia, pupuk, atau pestisida pada perkebunan merusak mikrobiologi tanah sabana yang unik dan mengganggu siklus nutrisi alami.
- Kriminalisasi Masyarakat Adat: Ketika masyarakat adat berusaha mempertahankan lahan mereka, seringkali mereka berhadapan dengan hukum dan terancam kriminalisasi, menciptakan keretakan sosial-ekonomi di komunitas.
Proyeksi Ancaman Jangka Panjang dari Ekspansi Industri
Jika ekspansi industri yang mengancam sabana Sumba ini tidak dikendalikan, Sumba berpotensi menghadapi kehancuran ekologis yang bersifat permanen.
- Desertifikasi (Penggurunan): Konversi sabana menjadi lahan monokultur atau overgrazing yang ekstrem akan mengikis lapisan tanah atas (top soil). Ketika tanah gundul dan kering, ia menjadi rentan terhadap erosi angin dan air, mempercepat proses desertifikasi.
- Krisis Pangan dan Air Lokal: Rusaknya kemampuan sabana menampung air akan memperparah kekeringan, membuat masyarakat lokal kesulitan mendapatkan air bersih dan memicu gagal panen pada lahan kering mereka.
- Hilangnya Budaya Kuda: Kuda sandel, yang menjadi warisan budaya dan ekonomi Sumba, akan kehilangan habitat alami mereka. Hilangnya kuda sandel bukan hanya kehilangan spesies, tetapi hilangnya salah satu identitas utama pulau tersebut.
Oleh karena itu, dibutuhkan tinjauan ulang yang mendalam terhadap izin-izin industri di Sumba. Keputusan investasi harus didasarkan pada daya dukung lingkungan sabana yang memang terbatas, bukan hanya pada potensi laba. Sumba harus dipandang sebagai sebuah laboratorium kearifan lokal dan keberlanjutan, bukan sebagai lahan kosong yang siap dieksploitasi.
📌 Sumber: Mongabay Indonesia dan laporan lingkungan.