Pengetahuan UmumSejarah

Sejarah Kampung Batik Laweyan: Dari Kerajaan Pajang hingga Wisata Budaya

Solo / Surakarta, 11 Oktober 2025 — Di tengah kota Solo yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, Kampung Batik Laweyan berdiri sebagai salah satu warisan industri batik tertua di Indonesia. Sejarahnya merentang sejak masa Kerajaan Pajang, melewati masa kejayaan ekspor, kebangkitan kembali, hingga kini menjadi daya tarik wisata budaya. Artikel berikut mengupas asal-usul, masa kejayaan, tantangan dalam modernitas, serta upaya pelestarian yang tengah berjalan.

Asal-usul dan Nama Laweyan

Cerita tentang Laweyan bermula dari kata “lawe” yang merujuk pada “benang” atau kain dasar. Di masa lampau, kawasan ini dikenal subur dengan tanaman kapas, yang menjadi bahan untuk membuat “lawe” — yaitu kain mentah. Dari situlah masyarakat lokal kemudian menyebut daerah ini sebagai Laweyan — tempat produksi benang dan kain.

Menurut catatan sejarah lokal, Laweyan sudah ada sebelum Kerajaan Pajang muncul secara resmi. Nama Laweyan mulai bermakna ketika Kyai Ageng Henis, seorang tokoh spiritual dan pewaris budaya, menetap di desa Laweyan sekitar tahun 1546 M di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).

Beberapa versi lain mengatakan bahwa tanah Laweyan dulunya diberikan sebagai hadiah oleh Kerajaan Pajang kepada Ki Ageng Henis atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang. Setelah itu, produksi batik tulis dengan pewarna alami mulai berkembang di kawasan ini — menjadikan Laweyan sebagai pusat batik kuno.

Masa Kejayaan Industri Batik Laweyan

Pada masa awal, produksi batik di Laweyan berkembang dari batik tulis tradisional. Pewarna alami menjadi ciri khasnya — sebelum perang dagang tekstil dan modernisasi produksi menyebar.

Titik puncak perkembangan datang ketika teknik batik cap mulai digunakan — lebih cepat, lebih murah, dan lebih mudah dipasarkan massal. Batik Laweyan pun tidak hanya diekspor di dalam negeri, tetapi juga ke pasar mancanegara. Sosok Tjokrosoemarto dikenal sebagai juragan batik besar yang berhasil menembus ekspor batik Laweyan.

Pada masa itu, laweyan menjadi kawasan makmur: para juragan batik membangun rumah bergaya megah dengan arsitektur campuran Jawa, Eropa, Tionghoa, dan Islam — yang hingga kini menjadi peninggalan bernilai estetika tinggi.

Kemajuan juga didorong oleh keterlibatan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan Haji Samanhudi pada tahun 1912 — sebagai wadah perdagangan batik Muslim yang turut menguatkan jaringan produksi dan pasar di Solo dan sekitarnya.

Kemunduran & Krisis Produksi

Sayangnya, mulai era 1970-an, industri batik di Laweyan mulai mengalami tekanan: muncul batik printing (tekstil bermotif batik yang dicetak), persaingan produk murah, dan pengurangan permintaan batik tulis tradisional. Banyak usaha batik gulung tikar.

Produksi tradisional banyak berhenti; generasi muda cenderung meninggalkan profesi batik karena kurang menguntungkan. Rumah-rumah kuno, dulunya tempat bengkel batik, banyak dibiarkan rapuh.

Selama beberapa dekade, kampung batik ini seperti terlupakan — hanya nama yang tersisa sebagai identitas historis.
The Jakarta Post

Kebangkitan Kembali & Pelestarian

Kebangkitan mulai terlihat pada awal 2000-an ketika salah satu tokoh lokal, Alpha Fabela Priyatmono, menggagas pengembangan Laweyan menjadi kampung batik wisata. Ia bersama warga membentuk Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL).

Pemerintah kota Solo mendukung dengan mematenkan motif batik Laweyan, memfokuskan revitalisasi bangunan heritage di kampungnya, dan mengupayakan integrasi sektor pariwisata.

Kini, Laweyan telah memiliki lebih dari 250 motif batik yang dipatenkan.
Pariwisata Jawa Tengah

Batik Laweyan kembali berkembang sebagai sentra kreatif dan wisata budaya — bukan hanya produksi, tetapi pengalaman edukasi bagi pengunjung.

Menurut studi, sektor keberlanjutan (ekonomi, sosial, budaya) sangat penting bagi eksistensi usaha batik di Laweyan. Industri batik yang lestari memberi pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan modal sosial lokal.

Daya Tarik Wisata & Karakteristik Kampung

Kampung Batik Laweyan tak hanya menarik untuk pembeli batik, tapi menyediakan pengalaman budaya lengkap:

Workshop batik: pengunjung bisa mencoba membatik sendiri, dari batik tulis hingga cap.

Arsitektur heritage: deretan bangunan gaya Jawa, Eropa, Tionghoa, Islam; gang sempit dan tembok tinggi menjadi ciri khas visual Laweyan.

Wisata kuliner lokal: pengunjung bisa mencicipi makanan khas Solo seperti ledre dan apem saat berkeliling.
Pariwisata Jawa Tengah

Jalur heritage: wisata paket yang mengajak pengunjung melihat rumah-rumah tua, museum batik, makam Ki Ageng Henis, dan bangunan bersejarah.

Tripadvisor menunjukkan Laweyan adalah salah satu destinasi populer di Solo dengan rating tinggi dan ulasan positif dari pengunjung.

Tantangan & Masa Depan

Walau kebangkitan berlangsung, beberapa tantangan tetap menghadang:
Persaingan batik printing murah masih menjadi tekanan bagi batik tulis tradisional.

Regenerasi pengrajin batik — kemampuan untuk menarik generasi muda agar melanjutkan tradisi.

Infrastruktur wisata — akses jalan, petunjuk arah, transportasi publik ke kampung batik belum sepenuhnya optimal.
The Jakarta Post

Keseimbangan antara pelestarian kebudayaan dan komersialisasi — agar nilai autentik tidak hilang saat bertransformasi menjadi destinasi wisata.

Jika langkah revitalisasi terus didukung, Kampung Batik Laweyan punya potensi menjadi contoh sukses kampung budaya yang tumbuh modern tanpa kehilangan akar tradisinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *