Eksekusi Mati Abdullah al-Derazi: Pendemo Remaja yang Tak Pernah Dapat Ucapan Selamat Tinggal
Jakarta, 21 Oktober 2025 — Di Provinsi Timur Arab Saudi, seorang pemuda bernama Abdullah al-Derazi tak lagi punya kesempatan untuk mendengar suara keluarganya. Pada Senin pagi (20/10) waktu setempat, otoritas Saudi mengeksekusi mati Abdullah atas tuduhan “terorisme” yang berasal dari aksi protes anti-pemerintah saat ia masih remaja. Berita itu bukan datang dari surat resmi atau kunjungan petugas, melainkan dari unggahan di media sosial yang tiba-tiba viral. Keluarga, yang selama 11 tahun berjuang memohon keringanan, hanya bisa terdiam di rumah sederhana mereka di Qatif, menatap layar ponsel dengan air mata yang tak terbendung. “Mereka bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal,” kata Duaa Dhainy, peneliti dari European Saudi Organisation for Human Rights (ESOHR), dengan suara parau yang mencerminkan kengerian yang tak terbayangkan.
Abdullah al-Derazi, yang lahir pada 1996, ditangkap pada Agustus 2014 saat berusia 18 tahun. Tuduhan terhadapnya berakar pada aksi demonstrasi di wilayah Al-Qatif pada 2011, ketika ia masih di bawah umur—baru 15 tahun. Saat itu, gelombang Arab Spring menyapu Timur Tengah, dan di Saudi, protes langka meletus di kalangan minoritas Syiah yang merasa terpinggirkan. Abdullah, seperti ratusan pemuda lainnya, bergabung dalam unjuk rasa menuntut hak-hak sipil dan akhir pejabat yang diskriminatif terhadap komunitasnya. Bagi keluarganya, ia hanyalah anak muda yang peduli pada keadilan, pencinta burung kenari yang sering merawat puluhan ekor di rumah. Tapi bagi pengadilan Saudi, ia adalah “anggota sel teroris” yang membentuk organisasi untuk mengganggu keamanan negara, menyerang polisi dengan bom molotov, dan menghalangi jalan dengan membakar ban.
Proses hukum Abdullah penuh dengan bayang-bayang kegelapan. Amnesty International mencatat bahwa vonis mati dijatuhkan pada 2018 oleh Pengadilan Pidana Khusus (Specialized Criminal Court), berdasarkan pengakuan yang diduga diperoleh melalui penyiksaan. “Pengakuan itu tak pernah diselidiki secara independen,” kata Bissan Fakih, kampainer Timur Tengah Amnesty. Tidak ada saksi mata yang kredibel, tidak ada bukti forensik yang kuat—hanya narasi negara yang menjadikan protes damai sebagai terorisme. Pada April 2025, pakar PBB seperti Kelompok Kerja Detensi Sewenang-wenang (WGAD) menyerukan pembebasan segera Abdullah dan empat pemuda Syiah lainnya: Jalal al-Labbad, Yusuf al-Manasif, Jawad Qureiris, dan Hassan al-Faraj. “Penahanan mereka sewenang-wenang, dan vonis mati melanggar hukum internasional karena kejahatan dilakukan saat di bawah umur,” tegas para pakar itu dalam pernyataan resmi. Mereka menyoroti bagaimana Saudi menggunakan undang-undang anti-terorisme yang samar untuk membungkam suara minoritas Syiah, yang hanya 10-15% populasi tapi sering jadi sasaran represi.
Mahkamah Agung Saudi diam-diam mengonfirmasi vonis itu pada Agustus 2025, tanpa memberi tahu keluarga atau pengacara. Ini bukan kebetulan; Human Rights Watch (HRW) menyebut praktik semacam ini sebagai “pelanggaran proses hukum sistemik” yang membuat pengadilan Saudi tak lagi adil. Abdullah, yang ditahan selama 11 tahun, tak pernah mendapat retrial meski dekrit kerajaan 2020 seharusnya melindungi remaja dari eksekusi. Ironisnya, saudaranya, Fadel al-Labbad, juga dieksekusi pada 2019 atas tuduhan serupa, meninggalkan trauma yang tak terobati bagi keluarga.
Pengumuman eksekusi datang seperti petir di siang bolong. Saudi Press Agency (SPA) merilis berita singkat: “Hukuman mati telah dilaksanakan terhadap Abdullah al-Derazi atas kejahatan terorisme.” Tak ada detail tentang lokasi, waktu, atau bagaimana prosesnya berlangsung—hanya pernyataan dingin yang seolah menutup babak panjang penderitaan. ESOHR melaporkan bahwa keluarga baru tahu dari postingan di X (sebelumnya Twitter) dan grup WhatsApp aktivis. “Tidak ada panggilan resmi, tidak ada kesempatan untuk bertemu terakhir kali. Jenazahnya bahkan belum diserahkan,” ungkap Dhainy, yang telah memantau kasus ini sejak 2018. Bayangkan: ibu Abdullah, yang selama bertahun-tahun mengirim makanan ke penjara, kini tak bisa memeluk putranya untuk terakhir kali. Ini bukan hanya kehilangan, tapi penghinaan terhadap martabat manusia.
Kasus Abdullah bukan insiden terisolasi; ia bagian dari pola yang mengerikan. Sejak Januari 2025, Saudi telah mengeksekusi setidaknya 300 orang—angka yang membuat tahun ini berpotensi pecahkan rekor 345 eksekusi pada 2024. Lebih dari separuhnya warga asing, banyak untuk pelanggaran narkoba non-letal seperti menyelundupkan ganja. Tapi yang paling mencolok adalah eksekusi politik: 35 kasus sejak awal tahun, menurut Sanad Organization, termasuk terhadap jurnalis dan aktivis Syiah. Pada Agustus lalu, Jalal al-Labbad—teman sesama tahanan Abdullah—juga dieksekusi atas protes saat berusia 16 tahun. HRW menyebut dua eksekusi remaja ini sebagai “milestone mengerikan” yang menandai kegagalan janji reformasi Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Di balik angka-angka itu, ada cerita manusia yang terlupakan. Protes 2011 di Al-Qatif bukan pemberontakan berdarah; ia adalah jeritan warga Syiah yang menuntut kesetaraan di negara Sunni-dominan. Wilayah Timur, kaya minyak tapi miskin hak, sering jadi medan konflik. Pemuda seperti Abdullah tumbuh di tengah diskriminasi: akses pendidikan terbatas, pengangguran tinggi, dan penindakan brutal terhadap ritual keagamaan. “Mereka bukan teroris; mereka anak muda yang haus keadilan,” kata Joey Shea dari HRW, yang mendokumentasikan puluhan kasus serupa. Amnesty menambahkan bahwa dakwaan seperti “mengganggu keamanan” sering digunakan untuk membungkam suara minoritas, dengan pengakuan dipaksa melalui pemukulan, isolasi, dan ancaman.
Reaksi internasional datang cepat tapi terlambat. Pada September 2025, pakar PBB memperingatkan agar Saudi hentikan eksekusi remaja, menyebutnya “eksekusi sewenang-wenang” yang melanggar Konvensi Hak Anak. Organisasi seperti Reprieve dan MENA Rights Group menyerukan moratorium global terhadap eksekusi Saudi, menyoroti bagaimana Riyadh menggunakan hukuman mati untuk “sportswashing”—menyembunyikan represi di balik glamor Formula 1 dan Piala Dunia 2034. Tapi suara-suara itu bergema di vakum; Barat, yang bergantung pada minyak Saudi, sering diam. “Ini bukan keadilan; ini pembantaian negara,” tegas Fakih dari Amnesty.
Kini, keluarga Abdullah bergulat dengan duka yang tak lengkap. Tanpa jenazah, tak ada pemakaman; tanpa penjelasan, tak ada penutupan. Di Qatif, tetangga-tetangga berbisik tentang pemuda yang hilang, sementara burung kenari liar beterbangan bebas di langit yang sama. Kasus ini mengingatkan kita pada harga suara yang ditekan: satu nyawa untuk menjaga status quo. Saudi mungkin pecahkan rekor eksekusi tahun ini, tapi catatan hitam itu tak akan pudar. Di tengah kilau Riyadh, cerita Abdullah al-Derazi adalah noda yang tak terhapus—pengingat bahwa hak asasi manusia bukan barang dagang, tapi hak mutlak yang tak boleh direnggut tanpa perlawanan.
Related Keywords: eksekusi Saudi 2025, Abdullah al-Derazi, protes Syiah Al-Qatif, Amnesty International Saudi, PBB eksekusi remaja
