Ujian Komitmen Tambang RI di COP30: Antara Ambisi Global dan Realita Ekstraksi Domestik
Brasilia, Brasil – Ketika mata dunia tertuju pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP30) di Brasilia, perhatian khusus kini mengarah pada komitmen yang diusung oleh delegasi industri ekstraktif, termasuk dari Indonesia. Sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara terbesar sekaligus pionir nikel untuk kendaraan listrik, janji perusahaan tambang Indonesia di panggung global menghadapi ujian berat: bagaimana menyeimbangkan ambisi dekarbonisasi global dengan realitas operasi ekstraksi yang masif di dalam negeri.
Pernyataan komitmen dari perwakilan perusahaan tambang besar Indonesia yang hadir di COP30 menegaskan partisipasi aktif dalam upaya mitigasi krisis iklim. Komitmen ini secara garis besar mencakup peningkatan efisiensi energi, pengurangan emisi karbon dalam operasional tambang, serta investasi pada teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).
Namun, narasi yang digaungkan di Brasilia ini perlu dicermati lebih mendalam. Di satu sisi, sektor pertambangan Indonesia sadar bahwa mereka berada di pusat transisi energi global. Kebutuhan akan mineral kritis seperti nikel, kobalt, dan tembaga untuk baterai dan teknologi hijau membuat industri ini vital. Di sisi lain, dominasi batu bara—sebagai komoditas ekspor utama dan sumber energi domestik—masih sulit dilepaskan dalam jangka pendek.
Bayangan Batu Bara dan Dilema Transisi
Komitmen iklim yang paling krusial bagi Indonesia adalah bagaimana mengelola transisi dari batu bara. Meskipun ada dorongan kuat menuju Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Geotermal, porsi batu bara dalam bauran energi nasional masih signifikan.
Perusahaan tambang batu bara yang terlibat dalam janji iklim di COP30 biasanya menekankan dua poin utama: pertama, optimalisasi tambang untuk mengurangi metana yang dilepaskan; dan kedua, eksplorasi teknologi co-firing atau diversifikasi ke energi terbarukan di area operasional mereka. Namun, pertanyaan fundamental tetap menggantung: seberapa efektif upaya ini jika produksi dan ekspor batu bara masih menjadi prioritas ekonomi?
Bagi aktivis lingkungan dan pengamat kebijakan, komitmen yang kredibel tidak hanya berkutat pada efisiensi operasional, tetapi juga harus mencakup peta jalan yang jelas dan terukur tentang penghentian bertahap ( phase-down ) penggunaan batu bara, sesuai dengan batas kenaikan suhu global 1.5°C. Sampai saat ini, peta jalan tersebut masih terasa abu-abu, terjebak dalam dilema antara stabilitas energi domestik dan tekanan internasional.
Tantangan Hilirisasi Nikel dan Jejak Karbon
Di sektor nikel, tantangan hadir dalam bentuk yang berbeda, yaitu jejak karbon dari proses pengolahan (smelter). Indonesia sedang gencar melakukan hilirisasi nikel untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik global. Ironisnya, mayoritas smelter nikel di Indonesia saat ini masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai sumber energi utama.
Maka, ketika perusahaan tambang nikel mengklaim berkomitmen pada iklim, komitmen tersebut harus diimbangi dengan investasi masif pada sumber energi bersih untuk operasional smelter. Jika tidak, upaya dekarbonisasi global yang didorong oleh kendaraan listrik justru akan mentransfer emisi dari sektor transportasi ke sektor industri di Indonesia.
Janji yang dikumandangkan di COP30 harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata: mewajibkan pembangunan smelter baru menggunakan energi terbarukan atau mengintegrasikan teknologi CCS sejak awal. Tanpa regulasi yang tegas dari pemerintah, insentif ekonomi jangka pendek akan selalu mengalahkan pertimbangan iklim jangka panjang.
Mengukur Kredibilitas Komitmen
Komitmen perusahaan tambang di COP30 adalah langkah awal yang patut diapresiasi, namun kredibilitasnya sangat bergantung pada transparansi dan mekanisme akuntabilitas. Masyarakat, pemegang saham, dan komunitas lokal berhak mengetahui:
- Metrik Pengurangan Emisi: Apakah komitmen tersebut didukung target berbasis sains (Science-Based Targets) yang sejalan dengan Perjanjian Paris?
- Anggaran Transisi: Berapa besar alokasi anggaran riil yang disiapkan perusahaan untuk berinvestasi pada energi terbarukan dan CCS, dibandingkan dengan investasi untuk ekstraksi konvensional?
- Dampak Sosial dan Lingkungan Lokal: Apakah komitmen iklim juga mencakup perlindungan ekosistem dan hak-hak masyarakat adat yang terdampak langsung oleh operasi tambang?
Indonesia, dengan sumber daya alamnya yang melimpah, berada pada posisi kunci dalam pertarungan iklim global. Partisipasi di COP30 harus lebih dari sekadar public relations korporasi. Ini harus menjadi pendorong bagi pemerintah dan industri untuk merumuskan kebijakan yang kohesif, memastikan bahwa kekayaan mineral Indonesia tidak ditukar dengan kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan dan target iklim yang gagal terpenuhi. Ujian sesungguhnya bukan di Brasilia, tetapi di lokasi-lokasi tambang di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Related Keywords: Transisi Energi, COP30 Indonesia, Industri Tambang Berkelanjutan, Emisi Sektor Tambang, Net Zero Emission
