Berita

Di Persimpangan Ambisi Hijau: Ujian Serius Komitmen Iklim Indonesia di Tengah Tekanan Ekonomi dan Politik

JAKARTA, 21 November 2025 — Komitmen Indonesia untuk mencapai target nol emisi karbon (Net Zero Emission/NZE) pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat, adalah deklarasi yang ambisius. Namun, di balik narasi ambisi hijau yang dipuji secara internasional, komitmen ini kini menghadapi ujian serius di tingkat implementasi. Persoalan deforestasi, konflik lahan, ketergantungan pada batu bara, hingga tekanan kepentingan politik jangka pendek, menjadi batu sandungan yang mengancam kredibilitas janji iklim Indonesia.

Ujian ini tidak hanya bersifat teknis atau finansial. Ia bersifat struktural, melibatkan perubahan radikal dalam pola pembangunan ekonomi, yang selama ini didominasi oleh sektor ekstraktif. Para pengamat lingkungan dan ekonomi mendesak pemerintah untuk memperkuat fondasi hukum, memastikan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta menempatkan keadilan sosial sebagai inti dari transisi energi.

“Komitmen NZE adalah bagus di atas kertas, tetapi implementasi adalah kunci. Kita melihat adanya tarik ulur antara ambisi mengurangi emisi dengan kebutuhan ekonomi jangka pendek untuk terus mengeksploitasi sumber daya alam. Konflik kepentingan ini adalah ujian serius terhadap kemauan politik Indonesia,” tegas seorang pakar kebijakan lingkungan.

Konflik Sektor: Hutan, Batubara, dan Lahan

Dua sektor utama yang menjadi penentu keberhasilan komitmen iklim Indonesia adalah pengelolaan lahan dan hutan (FOLU) serta energi. Di sinilah letak konflik serius:

  1. Deforestasi Terselubung dan FOLU: Indonesia menargetkan sektor kehutanan dan lahan dapat menyerap lebih banyak emisi daripada yang dilepaskan (net sink) pada tahun 2030. Namun, target ini terancam oleh laju deforestasi yang masih tinggi, terutama akibat ekspansi perkebunan dan tambang. Konflik lahan adat dan perizinan yang tumpang tindih membuat restorasi dan reforestasi berjalan lambat. Keberhasilan komitmen iklim sangat bergantung pada ketegasan pemerintah dalam moratorium pembukaan lahan baru dan penegakan hukum terhadap pembalakan liar.
  2. Ketergantungan Batubara: Transisi energi merupakan tantangan terbesar. Meskipun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang masif (panas bumi, surya, hidro), ketergantungan historis dan kepentingan bisnis pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara masih kuat. Program phase out batubara (pengurangan penggunaan) berjalan lambat. Indonesia membutuhkan investasi besar dalam teknologi penangkapan karbon dan, yang lebih realistis, mekanisme pembiayaan yang adil untuk pensiun dini PLTU.

Keadilan Transisi dan Kesejahteraan Rakyat

Transisi menuju energi hijau dan ekonomi rendah karbon tidak boleh mengabaikan aspek keadilan sosial. Jika transisi ini tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan jatuh ke pundak rakyat kecil:

  • Pekerja Batubara: Ribuan pekerja yang bergantung pada sektor batubara akan kehilangan pekerjaan. Pemerintah harus memiliki program Just Transition yang terstruktur, mencakup pelatihan ulang (reskilling) dan jaminan sosial bagi mereka yang terdampak.
  • Masyarakat Adat: Upaya reforestasi dan konservasi seringkali mengorbankan hak-hak masyarakat adat. Transisi iklim harus didasarkan pada pengakuan dan perlindungan hak atas tanah adat, menjadikan mereka mitra utama dalam konservasi, bukan korban.

Ujian serius komitmen iklim Indonesia adalah apakah pemerintah mampu menahan tekanan dari industri ekstraktif jangka pendek dan mendesain ulang fondasi ekonomi agar lebih berkelanjutan. Komitmen iklim adalah janji global, tetapi implementasinya adalah tanggung jawab nasional yang mengukur sejauh mana negara benar-benar memprioritaskan lingkungan dan kesejahteraan generasi mendatang di atas kepentingan sesaat.

Related Keywordskomitmen iklim, Net Zero Emission, deforestasi, transisi energi, FOLU net sink, PLTU batubara, keadilan iklim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *