Home

Kiblat Baru dari Selatan: Saat Australia dan Dunia Mulai Meniru Langkah Tegas Indonesia di Ruang Digital

CANBERRA, kilasanberita.id – Selama dua dekade terakhir, narasi tentang tata kelola internet dunia selalu didikte oleh satu standar ganda yang klise: Barat adalah penjaga kebebasan ekspresi tanpa batas, sementara Timur (termasuk Asia Tenggara) dianggap sebagai rezim penyensor yang paranoid. Namun, di penghujung tahun 2025 ini, peta moralitas digital tersebut sedang digambar ulang secara radikal. Australia, sebuah negara demokrasi liberal yang kerap menjadi acuan standar Barat di Pasifik, baru saja mengambil langkah yang membuat Silicon Valley terhenyak: menerapkan undang-undang pembatasan media sosial yang sangat ketat, sebuah langkah yang secara filosofis dan taktis mirip dengan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.

Dunia memang sedang berubah total. “Era Barat Liar” (The Wild West Era) di mana raksasa teknologi seperti Meta, Google, dan TikTok bisa beroperasi tanpa hukum di ruang siber, kini resmi berakhir. Dan yang menarik, inspirasi untuk “memagari” kebebasan liar tersebut justru datang dari pendekatan negara-negara berkembang yang mengutamakan kedaulatan digital dan perlindungan sosial di atas profit korporasi.

Runtuhnya Mitos Regulasi Mandiri

Langkah Australia untuk melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses media sosial—dengan ancaman denda raksasa bagi platform yang gagal mematuhi—bukanlah kebijakan yang lahir dari ruang hampa. Ini adalah kulminasi dari kekecewaan global terhadap konsep self-regulation (regulasi mandiri) yang selama ini dijajakan oleh para CEO teknologi.

Selama bertahun-tahun, Mark Zuckerberg dan kolega-koleganya meyakinkan parlemen di Washington, London, dan Canberra bahwa mereka bisa mengawasi diri mereka sendiri. Bahwa algoritma mereka aman, dan dampak negatif terhadap kesehatan mental remaja bisa dimitigasi dengan fitur-fitur internal. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Depresi remaja meroket, polarisasi politik menajam, dan predator seksual berkeliaran bebas di kolom direct message.

Di titik inilah, pendekatan Indonesia yang sering dikritik sebagai “terlalu campur tangan”, menemukan validasinya. Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (dulu Kominfo), sejak lama bersikeras bahwa negara harus memegang kendali. Konsep pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), kewajiban takedown konten dalam 1×24 jam, hingga aturan Publisher Rights yang memaksa platform membayar konten berita, adalah manifestasi dari doktrin “Negara Hadir”.

Dulu, kebijakan Indonesia ini dipandang sinis oleh pengamat Barat sebagai upaya pembungkaman. Kini, logika yang sama justru diadopsi oleh Perdana Menteri Australia Anthony Albanese. Bahwa negara memiliki kewajiban moral untuk mengintervensi algoritma demi keselamatan warganya, terutama anak-anak. Pendekatan “tangan besi” yang dulu dianggap ciri khas otoritarianisme digital, kini menjadi standar baru demokrasi yang bertanggung jawab.

Indonesia sebagai Pionir Kedaulatan Digital

Jika kita menarik garis sejarah, Indonesia sebenarnya adalah salah satu negara pertama yang berani “menjewer” telinga raksasa teknologi secara terbuka. Ingatkah kita saat Indonesia memblokir Telegram karena isu terorisme, atau mengancam menutup akses Facebook jika tidak membersihkan konten pornografi dan judi? Saat itu, langkah tersebut dianggap radikal. Namun, keberanian Jakarta untuk meletakkan hukum nasional di atas aturan komunitas (community guidelines) platform global menjadi preseden penting.

Australia kini menempuh jalan serupa. Mereka tidak lagi meminta dengan sopan agar platform melindungi anak-anak; mereka memerintahkannya lewat undang-undang federal. Logika yang dipakai sangat “Indonesia”: jika Anda ingin berbisnis di rumah kami, Anda harus patuh pada aturan tuan rumah, bukan aturan kantor pusat Anda di California.

Fenomena ini menandai pergeseran poros pengaruh regulasi. Jika dulu Brussels (Uni Eropa) dengan GDPR-nya menjadi satu-satunya acuan, kini model “Paternalisme Digital” ala Asia Tenggara mulai dilirik sebagai solusi praktis menghadapi krisis adiksi gawai. Negara tidak lagi malu-malu untuk menjadi “orang tua” bagi warganya di ruang digital.

Tekanan Balik dari Raksasa Teknologi

Tentu saja, perubahan total ini tidak berjalan mulus. Lobi-lobi teknologi di Canberra, sama seperti di Jakarta, berteriak lantang tentang “pembatasan inovasi” dan “pelanggaran privasi”. Mereka berargumen bahwa memverifikasi usia pengguna akan memaksa platform mengumpulkan lebih banyak data identitas, yang justru berisiko bocor.

Namun, argumen ini mulai kehilangan taringnya. Publik global sudah terlalu lelah dengan alasan klasik tersebut. Di Indonesia, masyarakat mendukung langkah pemerintah memberangus judi online dan pornografi. Di Australia, orang tua yang lelah melihat anaknya menjadi zombie layar, mendukung penuh larangan media sosial.

Ada kesadaran kolektif yang tumbuh bahwa teknologi, seperti halnya rokok, alkohol, atau kendaraan bermotor, memerlukan regulasi ketat. Narasi “kebebasan internet” (internet freedom) yang didengungkan di awal tahun 2000-an kini terdengar naif. Yang dibutuhkan dunia sekarang bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan “keamanan internet” (internet safety) dan “kedaulatan data”.

Efek Domino Global

Apa yang terjadi di Australia dan Indonesia hanyalah awal dari efek domino. Norwegia sedang mempertimbangkan aturan serupa. Negara bagian Utah dan Florida di Amerika Serikat juga mulai bergerak ke arah yang sama. Ketika negara-negara liberal mulai mengadopsi taktik regulasi ketat, maka tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi Meta, X, atau TikTok.

Dunia sedang bergerak menuju fragmentasi internet (splinternet) yang teratur. Internet tidak lagi menjadi ruang global yang seragam, melainkan terkotak-kotak berdasarkan hukum nasional masing-masing negara. Di kotak Indonesia, tidak ada judi dan pornografi. Di kotak Australia, tidak ada anak di bawah 16 tahun.

Ini adalah perubahan total dari visi awal internet yang tanpa batas. Namun, mungkin inilah evolusi yang diperlukan agar peradaban manusia bisa selamat dari ciptaannya sendiri. Indonesia, dengan segala dinamika dan kontroversi kebijakan sibernya, secara tak sengaja telah menjadi salah satu arsitek awal dari tatanan dunia baru ini.

Ketika Canberra melihat ke utara, ke arah Jakarta, mereka tidak lagi melihat tetangga yang perlu diajari tentang kebebasan, melainkan mitra yang memiliki pengalaman berharga dalam menjinakkan “binatang buas” bernama algoritma. Di penghujung 2025, kita sedang menyaksikan sejarah ditulis ulang: kedaulatan negara akhirnya memukul balik dominasi korporasi digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *