Beritateknologi

Bumi Semakin Gelap: Sinyal Bahaya dari Satelit NASA dan Implikasi bagi Masa Depan Manusia

Jakarta, 23 Oktober 2025 — Bayangkan melihat Bumi dari angkasa luar: bukan lagi biru cerah yang mencerminkan sinar matahari, tapi semakin redup, seperti lampu yang perlahan pudar. Ini bukan skenario fiksi ilmiah, melainkan fakta yang terungkap dari data satelit NASA selama hampir dua dekade. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa planet kita sedang “gelap” lebih cepat di belahan utara, menyerap lebih banyak panas dan mempercepat pemanasan global. Bagi ilmuwan, ini adalah alarm merah—bukan akhir dunia secara harfiah, tapi sinyal bahwa perubahan iklim berjalan lebih kencang dari perkiraan, dengan potensi mengganggu pola cuaca, arus laut, dan kehidupan miliaran orang. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, temuan ini mengingatkan kita: waktu untuk bertindak semakin menipis.

Temuan NASA: Bumi Menyerap Lebih Banyak Panas

Penelitian ini berasal dari Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES), proyek NASA yang memantau aliran energi di atmosfer Bumi sejak 1997. Menggunakan data dari empat satelit—Terra, Aqua, Suomi NPP, dan NOAA-20—tim ilmuwan mengukur absorbed solar radiation (ASR), yaitu energi matahari yang diserap Bumi, dan outgoing longwave radiation (OLR), panas yang dipancarkan kembali ke angkasa. Hasilnya, dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences pada 7 Oktober 2025, menunjukkan tren mengkhawatirkan: sejak 2001, Bumi menyerap tambahan 0,83 watt per meter persegi energi per dekade secara global.

Yang lebih mencolok adalah ketidakseimbangan antar belahan. Belahan utara (Northern Hemisphere/NH) menyerap 0,34 watt per meter persegi lebih banyak per dekade dibandingkan belahan selatan (Southern Hemisphere/SH). Ini berarti NH, yang mencakup 90% populasi dunia termasuk Eropa, Amerika Utara, dan Asia, sedang “gelap” lebih cepat—mencerminkan lebih sedikit cahaya matahari ke angkasa. “Perubahannya terlihat jelas. Kedua belahan memang memantulkan lebih sedikit sinar matahari, tetapi efeknya lebih kuat di belahan utara,” kata Norman G. Loeb, ilmuwan iklim di NASA Langley Research Center dan pemimpin studi ini.

Secara historis, kedua belahan Bumi mencerminkan jumlah energi matahari yang sama, dengan NH memancarkan lebih banyak panas melalui OLR untuk menjaga keseimbangan. Tapi data CERES dari 2001-2024 menunjukkan pergeseran: NH menyerap lebih banyak (tren 0,34 ± 0,23 W/m² per dekade), sementara SH sedikit lebih lambat. Ini bukan perubahan kecil; meski 0,34 watt tampak remeh, akumulasi jangka panjang bisa setara dengan ratusan bom atom setiap tahun, mempercepat pemanasan.

Penyebab Utama: Dari Es yang Hilang hingga Polusi yang Berkurang

Mengapa Bumi semakin gelap? Peneliti mengidentifikasi tiga faktor utama, dengan NH paling terdampak.

Pertama, hilangnya es dan salju. Es laut Arktik menyusut 13% per dekade sejak 1979, mengungkap lautan gelap yang menyerap 80% sinar matahari—bandingkan dengan es putih yang mencerminkan hingga 90%. Salju di daratan NH juga berkurang, terutama di Siberia dan Kanada, menurunkan albedo (daya pantul) permukaan dari 0,6 menjadi 0,2. Loeb menyebut ini sebagai “feedback positif” perubahan iklim: semakin hangat, semakin sedikit es, semakin banyak panas terserap, dan seterusnya.

Kedua, pengurangan aerosol manusia. Regulasi polusi di NH—seperti Clean Air Act di AS dan kebijakan China sejak 2013—mengurangi partikel sulfat yang mencerminkan sinar matahari. Aerosol ini, dulu “pendingin alami”, kini menurun, membuat langit lebih jernih tapi panas lebih masuk. Di SH, kebakaran hutan Australia (2019-2020) dan letusan Hunga Tonga (2022) sementara meningkatkan aerosol, tapi efeknya hilang cepat.

Ketiga, perubahan awan. Awan rendah seharusnya mencerminkan sinar, tapi data CERES menunjukkan awan di NH tak cukup kompensasi, mungkin karena uap air meningkat yang menekan pembentukan awan. Loeb menekankan: “Awan bukan termostat seperti yang kita kira; perubahan non-awan lebih dominan.”

Implikasi Global: Dari Badai Ekstrem hingga Ketidakstabilan Cuaca

Ketidakseimbangan ini bukan abstrak; ia punya wajah nyata. Di NH, penyerapan panas ekstra bisa perkuat pola angin seperti Jet Stream, memicu badai ekstrem dan gelombang panas seperti yang melanda Eropa 2022 atau California 2024. Arus laut seperti Gulf Stream mungkin melambat, mengubah iklim Eropa dari sedang menjadi ekstrem. Di Asia, banjir lebih sering, sementara di AS, kekeringan parah mengancam pertanian.

Secara global, pemanasan lebih cepat berarti ambang batas seperti 1,5°C bisa tercapai lebih awal, memperburuk naiknya permukaan laut dan hilangnya biodiversitas. Loeb memperingatkan: “Perbedaan kecil ini bisa punya implikasi besar, mengubah distribusi panas dan mengganggu model iklim kita.” Timnya berencana perpanjang data CERES untuk lihat apakah ini tren sementara atau permanen.

Dampak bagi Indonesia: Ancaman Langsung di Negeri Tropis

Indonesia, di belahan SH, tak luput. Meski SH lebih lambat gelap, peningkatan panas NH bisa ganggu Monsun Asia, memicu kekeringan di Jawa atau banjir di Sumatra. Es Arktik hilang naikkan suhu global, memperburuk La Niña yang sering banjiri Jakarta. Di Papua, hutan tropis—penyerap karbon terbesar—terancam kebakaran silang akibat pola angin berubah. Bagi nelayan di Nusa Tenggara, arus laut terganggu berarti tangkapan menurun, sementara petani padi di Jawa hadapi musim tanam tak menentu.

Data BMKG sejak 2020 tunjukkan suhu rata-rata Indonesia naik 0,3°C per dekade, selaras tren global. Di tengah itu, aksi lokal seperti reboisasi mangrove di Jakarta atau energi terbarukan di Bali jadi kunci. “Ini bukan kiamat besok, tapi sinyal hari ini,” kata Prof. Armi Susandi dari ITB, menekankan adaptasi seperti pertanian tahan iklim.

Mengapa Ini “Tanda Kiamat”? Perspektif Ilmiah

Judul sensasional seperti “tanda kiamat” menarik perhatian, tapi ilmuwan seperti Loeb tekankan: ini bukan akhir, tapi peringatan. “Kita harus perbaiki model iklim untuk prediksi lebih akurat,” katanya. Studi ini tantang asumsi awan sebagai “termostat”, tunjukkan perubahan non-awan (es, aerosol) lebih kuat. Dengan COP30 di Brasil 2025, temuan ini dorong komitmen lebih kuat pada Paris Agreement.

Bagi kita, ini panggilan bertindak: kurangi emisi, lindungi es, dan pantau aerosol. Di langit redup Bumi, harapan masih ada—jika kita pilih cahaya sekarang.

📌 Sumber: CNBC Indonesia, NASA CERES (PNAS 2025), IFLScience, BBC Sky at Night, Energy Live News, Popular Mechanics, LADbible, Discover Magazine, diolah kembali oleh tim kilasanberita.id.

baca juga sejarah Indonesia yang menarik di sejarahindonesia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *