Berita

Fosil Buaya Purba Wadisuchus kassabi: Penemuan 80 Juta Tahun di Mesir Ungkap Evolusi Predator Laut yang Hilang

Jakarta, 30 Oktober 2025 — Di padang pasir barat Mesir yang kering dan tak berpenghuni, di mana angin gurun menyapu pasir merah seperti bisikan masa lalu, sebuah penemuan baru membuka babak segar dalam sejarah evolusi reptil purba. Tim paleontolog dari Universitas Assiut menggali dua tengkorak dan tiga rahang yang menceritakan kisah Wadisuchus kassabi, spesies buaya purba berusia 80 juta tahun dari masa Kapur Akhir (Late Cretaceous). Bukan buaya biasa, Wadisuchus adalah anggota kelompok dyrosaurid—predator laut dengan moncong panjang ramping, gigi jarum tajam, dan adaptasi sempurna untuk berburu ikan dan penyu di perairan pesisir. Panjang tubuhnya 3,5-4 meter, ia hidup di lingkungan yang kini jadi gurun, tapi dulu adalah lautan hijau. Penemuan ini, yang dipublikasikan di jurnal Cretaceous Research (Oktober 2025), bukan hanya tambahan koleksi fosil—ia adalah kunci untuk memahami bagaimana reptil bertahan pasca-kepunahan dinosaurus, dan mengapa buaya modern tetap mirip leluhurnya. Di era di mana iklim berubah dan laut kita terancam, cerita Wadisuchus ingatkan: predator laut seperti ini pernah dominan, tapi sekarang kita yang harus jaga lautan agar tak jadi kuburan fosil baru.

Penemuan Wadisuchus kassabi dimulai di lapisan batuan Quseir Formation, wilayah Bahariya Oasis di barat Mesir, yang dikenal sebagai “Oasis Bahariya”—situs fosil kaya seperti yang lahirkan Spinosaurus pada 1915. Tim Universitas Assiut, dipimpin Dr. Sara Saber, bekerja di bawah terik matahari gurun, menggali fosil pada musim panas 2024. “Kami temukan dua tengkorak lengkap dan tiga fragmen rahang yang sempurna,” kata Saber dalam wawancara dengan Sci News (30/10/2025). Fosili ini, berusia 80 juta tahun, berasal dari masa ketika Mesir masih terendam lautan Tethys yang hangat, penuh ikan, penyu, dan hiu megalodon. Wadisuchus, yang namanya berarti “buaya sungai Wadi” (Wadi Al-Hitan, situs UNESCO), adalah anggota dyrosaurid—kelompok buaya purba yang muncul pasca-kepunahan Cretaceous-Paleogen (66 juta tahun lalu), bertahan hingga Eosen (50 juta tahun lalu).

Dyrosaurid seperti Wadisuchus adalah survivor luar biasa. Berbeda dengan buaya modern yang suka sungai dan rawa, mereka adalah predator laut: moncong panjang 60-70 cm, gigi tajam seperti jarum untuk tangkap ikan licin, dan kaki webbed untuk berenang. Saber jelaskan, “Wadisuchus punya 4 gigi depan, bukan 5 seperti dyrosaurid primitif—adaptasi untuk gigitan presisi.” Lubang hidung di atas moncong bantu bernapas di permukaan, sementara cekungan ujung rahang tingkatkan kekuatan gigit. Ini bikin mereka hebat buru mangsa di perairan dangkal, mirip orca modern. Penemuan ini tambah 5 spesies dyrosaurid baru di Afrika Utara, lengkapi puzzle evolusi buaya pasca-dinosaurus.

Di Mesir, fosil ini penting karena Quseir Formation kaya kehidupan laut: ikan, hiu, dan ular laut. Wadisuchus, panjang 3,5-4 meter, mungkin berburu penyu dan ikan hiu, mirip buaya Sarcosuchus di Sahara 110 juta tahun lalu. Saber bilang, “Ini tunjukkan dyrosaurid evolusi cepat setelah kepunahan, adaptasi ke lautan untuk hindari kompetisi di darat.” Evolusi ini relevan sekarang: buaya modern bertahan 200 juta tahun karena adaptasi, tapi ancaman manusia seperti polusi dan perburuan bikin spesies seperti buaya muara di Indonesia terancam punah (IUCN 2024).

Penemuan ini bukan cuma sains—ia soal pelestarian. Sahara, yang dulu lautan, kini gurun karena perubahan iklim. Wadisuchus ingatkan: predator laut seperti ini hilang karena habitat rusak, mirip ancaman sekarang. Di Indonesia, dengan 17.000 pulau, laut kita rumah 2.500 spesies ikan dan 100 mamalia laut, tapi polusi plastik 1 juta ton/tahun (KLHK 2024) ancam ekosistem. Saber harap fosil ini dorong konservasi: “Pelajari masa lalu untuk selamatkan masa depan.”

Di Mesir, situs Bahariya jadi taman nasional, lindungi fosil dari pembangunan. Penemuan Wadisuchus tambah daya tarik wisata paleo, seperti Museum Mummified Dinosaur (2023). Buat Indonesia, ini inspirasi: situs seperti Sangiran atau Trinil butuh pengelolaan sama, biar fosil jadi warisan, bukan harta karun hilang.

Wadisuchus kassabi adalah cerita dari masa lalu: buaya purba yang bertahan di lautan kuno, tapi akhirnya punah. Di 2025, saat kita hadapi krisis iklim, fosil ini ingatkan: adaptasi penting, tapi pelestarian lebih. Di gurun Mesir yang sunyi, rahang Wadisuchus berbisik: jangan biarkan lautan kita jadi gurun besok.

📌 Sumber: Kompas.com, Sci News, Cretaceous Research (2025), IUCN, KLHK, diolah oleh tim kilasanberita.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *