Berita

Korea Utara dan Rusia Bersatu dalam Pertempuran Berdarah Melawan Musuh Bersama

Pyongyang — Ketegangan global meningkat setelah Korea Utara dan Rusia secara terbuka menyatakan kesiapan mereka untuk “bersatu dalam pertempuran berdarah melawan musuh bersama.
Pernyataan ini muncul dalam pidato terbaru Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, yang memuji hubungan negaranya dengan Rusia di tengah isolasi internasional dan sanksi ekonomi yang kian menjerat.

Dalam laporan yang dikutip dari Kompas TV Internasional, Kim Jong Un menyebut bahwa dunia kini memasuki “era baru solidaritas strategis,” di mana Pyongyang dan Moskow akan berdiri di sisi yang sama “melawan kekuatan hegemonik Barat.”

“Korea Utara dan Rusia akan berdiri bahu-membahu di garis depan, menghadapi setiap musuh yang mencoba mengancam kedaulatan kami,” ujar Kim di hadapan perwira militer dan diplomat Rusia yang berkunjung ke Pyongyang.


Babak Baru dalam Hubungan Moskow–Pyongyang

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, hubungan antara Moskow dan Pyongyang semakin erat.
Kedua negara kerap saling mendukung di forum internasional, dengan Korea Utara menjadi salah satu dari sedikit negara yang secara terbuka mendukung kebijakan militer Rusia.

Pertemuan Kim Jong Un dengan Presiden Vladimir Putin tahun lalu di Vladivostok menandai titik balik dari kerja sama strategis itu.
Sejak saat itu, berbagai laporan intelijen Barat menuduh bahwa Korea Utara telah mengirim ribuan amunisi artileri dan roket ke Rusia, yang digunakan dalam pertempuran di Ukraina timur.

Rusia membantah tuduhan tersebut, namun tidak menutupi fakta bahwa kedua negara kini memiliki “komitmen kuat terhadap keamanan bersama.”

“Kami dan rakyat Korea Utara memiliki nasib yang sama: melawan dominasi sepihak Amerika Serikat,” ujar Sergey Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, dalam wawancaranya dengan media pemerintah TASS.


Ancaman Terbuka terhadap Blok Barat

Pernyataan Kim Jong Un disampaikan dalam konteks meningkatnya tekanan militer di Asia Timur.
Korea Utara terus melakukan uji coba rudal jarak jauh, sementara Rusia memperkuat operasi militernya di Ukraina dengan dukungan logistik baru.

Dalam pidatonya, Kim menyebut bahwa “musuh bersama” yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, tiga negara yang kini mempererat kerja sama pertahanan di kawasan Indo-Pasifik.

“Mereka mengelilingi kami dengan pangkalan militer dan senjata nuklir. Tapi sejarah akan berpihak pada mereka yang berani melawan,” tegas Kim.

Beberapa analis menilai bahwa pernyataan Kim bukan sekadar retorika, tetapi sinyal bahwa Pyongyang siap memainkan peran militer aktif jika konflik global meluas.
Aliansi Rusia–Korea Utara disebut dapat menciptakan poros baru dalam peta geopolitik dunia, di luar pengaruh Amerika dan NATO.


Dunia Bereaksi: Kekhawatiran atas “Poros Baru Perang Dingin”

Reaksi dunia internasional terhadap pernyataan itu berlangsung cepat.
Gedung Putih melalui juru bicara Keamanan Nasional, John Kirby, menyebut hubungan Rusia dan Korea Utara sebagai “ancaman langsung terhadap stabilitas global.”

“Dua negara otoriter yang bersenjata nuklir kini saling menguatkan. Ini bukan kabar baik bagi dunia,” kata Kirby dalam konferensi pers di Washington.

Sementara Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menilai kerja sama militer antara Pyongyang dan Moskow berpotensi membuka “Poros Perang Dingin baru” di Asia Timur.

“Apa yang dulu kita lihat antara Uni Soviet dan sekutunya, kini muncul kembali dalam bentuk baru — lebih kompleks, lebih berbahaya,” ujar Stoltenberg.


Dukungan dari Tiongkok: Sikap Ambigu

Berbeda dengan Barat, Tiongkok mengambil sikap lebih hati-hati.
Meskipun menjadi sekutu lama Korea Utara, Beijing tampak enggan terlibat langsung dalam eskalasi ini.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok hanya menyerukan “dialog dan stabilitas kawasan,” tanpa menyinggung Rusia maupun Amerika Serikat secara eksplisit.

Namun, banyak pengamat menilai bahwa Tiongkok diam-diam mendukung manuver Rusia dan Korea Utara sebagai bagian dari strategi untuk melemahkan dominasi Amerika di Asia.

“Beijing mungkin tidak ingin perang terbuka, tapi ia senang melihat Washington sibuk di dua front: Eropa dan Asia Timur,” ujar analis geopolitik Dr. Yu Jie dari Chatham House kepada Kompas TV.


Potensi Dampak bagi Asia Timur

Aliansi Rusia–Korea Utara menjadi perhatian utama di kawasan.
Korea Selatan dan Jepang, dua sekutu dekat Amerika Serikat, segera memperkuat sistem pertahanan udara dan mempersiapkan skenario darurat lintas batas.

Pemerintah Seoul bahkan menyebut langkah Kim sebagai “ancaman eksistensial bagi perdamaian regional.”

“Jika Pyongyang benar-benar mengirim senjata atau pasukan ke luar negeri, kami akan merespons bersama sekutu kami,” ujar Kang Shin-hwa, juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan.

Di sisi lain, Jepang mempercepat modernisasi militer terbesar dalam sejarah pasca-perang mereka.
Tokyo kini menambah anggaran pertahanan hingga 2 persen dari PDB, dengan fokus pada rudal jarak jauh dan sistem pertahanan anti-rudal yang didukung AS.


“Pertempuran Berdarah”: Retorika atau Ancaman Nyata?

Istilah “pertempuran berdarah” yang digunakan Kim Jong Un dalam pidatonya menimbulkan spekulasi luas.
Apakah itu sekadar metafora perlawanan politik, atau benar-benar indikasi potensi konfrontasi militer langsung?

Menurut Dr. Robert Carlin, mantan analis CIA untuk Korea Utara, retorika Kim kali ini jauh lebih serius dari biasanya.

“Selama ini Kim berbicara dalam konteks pertahanan. Tapi sekarang ia berbicara dalam konteks pertempuran global. Itu perubahan nada yang signifikan.”

Carlin menilai bahwa perang skala penuh mungkin tidak terjadi dalam waktu dekat, namun aliansi semacam ini dapat mempercepat pergeseran kekuatan global, terutama jika Rusia terus mengandalkan pasokan senjata dan dukungan politik dari Pyongyang.


Penutup: Dunia di Titik Rawan

Ketika konflik Ukraina belum berakhir dan ketegangan di Asia Timur semakin meningkat, kerja sama Rusia dan Korea Utara memberi sinyal bahwa dunia kembali mendekati pola lama Perang Dingin — namun kali ini dengan teknologi, senjata, dan risiko yang jauh lebih tinggi.

Dari Moskow hingga Pyongyang, retorika “musuh bersama” menjadi alat politik sekaligus ancaman diplomatik.
Dan di tengah sorotan dunia, dua negara yang selama ini dikucilkan kini berusaha membentuk kembali tatanan global dengan cara mereka sendiri — melalui darah, senjata, dan perlawanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *