LRT, MRT, dan TransJakarta Siap Terapkan Tiket Berbasis Akun
Jakarta — Suasana ruang rapat di Balai Kota Jakarta terasa tegang pada pertengahan September lalu. Kepala Dinas Perhubungan DKI, Syafrin Liputo, menatap layar proyektor yang menampilkan simulasi perjalanan seorang penumpang dari Stasiun Dukuh Atas menuju Blok M. Jalurnya berliku, melibatkan MRT, TransJakarta, dan LRT. Namun, hanya satu kode digital yang dipakai sejak awal perjalanan hingga akhir.
“Itu prinsip account-based ticketing (ABT),” ujar Syafrin. “Semua perjalanan tercatat di satu akun. Subsidi bisa dihitung lebih tepat.”
Konsep tiket berbasis akun itu segera diterapkan di Jakarta. Jika uji coba tak menemui banyak kendala, sistem baru ini akan menyapa pengguna transportasi massal tahun depan.
Dari Kartu ke Akun Digital
Selama bertahun-tahun, warga Jakarta terbiasa dengan kartu uang elektronik untuk mengakses angkutan umum. Kartu e-money dari berbagai bank digunakan untuk tap in dan tap out di gate. Namun, sistem itu punya kelemahan.
“Subsidi transportasi kita sering tidak tepat sasaran. Banyak data yang tidak terekam secara jelas,” kata seorang pejabat Dishub yang enggan disebutkan namanya.
Dengan ABT, penumpang harus membuat akun di aplikasi JakLingko. Akun itu akan merekam semua perjalanan, berapa kali naik moda tertentu, hingga jumlah subsidi yang diterima. “Kalau sekarang hitungannya masih agregat, nanti bisa detail per penumpang,” kata Syafrin.
Harapan Pemerintah
ABT tak sekadar proyek digitalisasi. Bagi Pemprov DKI, sistem ini kunci untuk menata ulang pola subsidi transportasi.
Setiap tahun, Jakarta menggelontorkan triliunan rupiah dalam bentuk public service obligation (PSO) bagi operator transportasi. Masalahnya, besaran subsidi kerap dihitung berdasarkan estimasi, bukan data riil.
Dengan sistem baru, pemerintah bisa memastikan bahwa subsidi benar-benar mengalir ke pengguna transportasi publik yang rutin, bukan sekadar menutupi defisit operasional operator.
“Kalau data akurat, kita bisa mengatur anggaran lebih adil. Tidak ada lagi subsidi yang mubazir,” kata Syafrin.
Uji Coba dan Kendala
Uji coba awal sistem ABT sudah dilakukan. Hasilnya cukup menjanjikan, meski belum sempurna. “Masih ada beberapa kendala minor, seperti sinkronisasi saldo dan keterlambatan update perjalanan. Tapi itu bisa diperbaiki,” kata seorang teknisi yang terlibat dalam uji coba.
Menurutnya, kendala terbesar bukan teknis, melainkan kebiasaan. “Banyak penumpang belum familiar dengan konsep akun digital. Mereka terbiasa tap kartu, bukan login aplikasi.”
Suara Publik: Antara Antusias dan Ragu
Di kalangan pengguna, wacana ABT memicu beragam reaksi.
Rani, seorang pegawai kantoran yang rutin naik MRT, menyambut positif. “Kalau ada akun, saya bisa lihat detail perjalanan saya. Jadi lebih transparan. Apalagi kalau bisa top up langsung di aplikasi.”
Namun, tidak semua antusias. Adi, pengemudi ojek daring yang sesekali naik TransJakarta, mengaku khawatir. “Kalau semua harus pakai HP, bagaimana dengan orang tua atau yang HP-nya jadul? Jangan sampai yang miskin malah susah naik transportasi.”
Kekhawatiran lain adalah soal privasi. Dengan ABT, semua data perjalanan terekam: dari rumah, kantor, hingga jam rutin berangkat. “Siapa yang jamin data itu aman?” tanya Laksmi, mahasiswa di Jakarta Selatan.
Perbandingan Internasional
Jakarta bukan kota pertama yang mencoba ABT.
- Singapura sudah lebih dulu dengan sistem SimplyGo. Semua transaksi transportasi terekam dalam akun, terhubung dengan kartu kredit atau debit.
- London memakai sistem Oyster Account yang terintegrasi dengan bus, tube, hingga kereta nasional.
- Seoul mengandalkan T-Money, dengan opsi akun digital untuk perjalanan kompleks.
Hasilnya memang memudahkan, tapi juga menimbulkan kritik serupa: data privasi, akses teknologi, dan dominasi perusahaan penyedia sistem.
Potensi Hambatan: Digital Divide
Masalah digital divide tak bisa disepelekan. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menunjukkan bahwa meski 78 persen penduduk Indonesia sudah terhubung internet, masih ada jutaan orang yang tak punya akses smartphone mumpuni.
Di Jakarta, kelompok lansia dan warga berpenghasilan rendah menjadi segmen paling rentan. Jika semua tiket terintegrasi lewat aplikasi, risiko eksklusi sosial bisa terjadi.
Syafrin mengakui tantangan itu. “Kami akan tetap sediakan opsi lain, seperti kartu single trip atau kartu JakLingko. Jadi tidak semua harus akun digital.”
Masa Depan Integrasi Transportasi
Bagi Pemprov DKI, ABT hanyalah awal. Target jangka panjangnya adalah integrasi penuh seluruh moda transportasi, termasuk KRL, kereta bandara, bahkan angkutan kota.
“Bayangkan, satu akun bisa dipakai dari naik bajaj, ojek JakLingko, TransJakarta, sampai kereta bandara. Itu masa depan transportasi Jakarta,” kata seorang konsultan transportasi yang ikut merancang sistem ini.
Jika berhasil, Jakarta bisa menyamai kota-kota dunia yang sudah lebih dulu menerapkan integrasi digital transportasi.
Kesimpulan
Tiket berbasis akun adalah langkah besar menuju modernisasi transportasi publik Jakarta. Di satu sisi, ia menjanjikan efisiensi, transparansi, dan integrasi. Namun di sisi lain, sistem ini juga membuka perdebatan soal kesenjangan digital dan privasi data.
Apakah ABT akan menjadi lompatan besar seperti SimplyGo di Singapura, atau justru tersandung di lapangan? Jawabannya ada pada seberapa jauh Jakarta siap mengantisipasi kendala—teknologi, sosial, dan politik—yang membayangi penerapan sistem baru ini.
Related Keywords: ABT JakLingko, tiket LRT Jakarta, MRT TransJ, sistem tiket digital