New Delhi Hadapi Polusi dengan Hujan Buatan: Langkah Bersejarah atau Solusi Sementara?
Jakarta, 27 Oktober 2025 — Bayangin kota sepadat Jakarta, tapi udaranya tebal dengan kabut asap, bikin sesak napas dan mata perih. Itulah New Delhi sekarang, yang kualitas udaranya nyaris “mengancam jiwa” selama empat hari berturut-turut. Untuk pertama kalinya, pemerintah India putuskan bikin hujan buatan dengan menyemai garam (natrium klorida/NaCl) di ibu kota pada 28-30 Oktober 2025. Disebut “langkah bersejarah” oleh Ketua Menteri Rekha Gupta, proyek ini tujuannya bersihin udara dari polusi parah akibat petasan Diwali, pembakaran lahan petani, dan emisi industri. Tapi, di balik ambisi ini, apakah hujan buatan bakal jadi penyelamat, atau cuma solusi temporer buat kota yang udah kehabisan napas? Ini kisah tentang teknologi, harapan, dan tantangan di tengah krisis lingkungan India.
Hujan Buatan: Solusi Teknologi untuk Polusi New Delhi
New Delhi, rumah 20 juta jiwa, lagi darurat polusi. Data Indian Express (25/10/2025) bilang indeks kualitas udara (AQI) capai 400+ (kategori “sangat buruk”) sejak Diwali 21 Oktober, ketika petasan dan kembang api nyala di mana-mana. Ini diperparah pembakaran lahan petani di Punjab dan Haryana—tradisi musim dingin buat bersihin lahan—plus asap dari pembangkit batu bara dan knalpot kendaraan. Hasilnya? Kabut asap (smog) tebal, jarak pandang turun ke 200 meter, dan rumah sakit lapor kenaikan 30% pasien gangguan pernapasan (data AIIMS Delhi, 2024).
Pemerintah India, bekerja sama dengan IIT Kanpur dan Departemen Lingkungan Hidup Delhi, putuskan coba cloud seeding: nyemprot garam ke awan biar uap air kondensasi jadi hujan. Uji coba di Burari sukses, dan DGCA kasih izin operasi 1 Oktober-30 November. “Kalau kondisi oke, 29 Oktober kita bikin hujan buatan pertama,” kata Rekha Gupta di X. Hujan ini diharap bersihin partikel PM2.5 (polutan mikro berbahaya) yang bikin 1,6 juta kematian per tahun di India (Lancet, 2023). Biaya proyek? Sekitar Rp 1,5 miliar per sesi, dengan pesawat khusus nyebar garam dari ketinggian 2.000 meter.
Fakta vs Mitos: Apa Hujan Buatan Bisa Selamatkan New Delhi?
Mitos: Hujan buatan bakal selesain polusi udara New Delhi sekali dan untuk selamanya.
Fakta: Hujan buatan cuma solusi sementara. Riset IIT Kanpur (2024) bilang cloud seeding bisa turunin PM2.5 sampai 20-30% dalam 24 jam, tapi efeknya cuma 1-2 hari kalau sumber polusi (petasan, pembakaran lahan, industri) nggak dikurangin. India pernah coba cloud seeding di Maharashtra 2019, hasilnya bantu petani saat kemarau, tapi nggak efektif lawan smog kota besar. Dr. Sachin Ghude (IITM Pune) bilang, “Hujan buatan bantu bersihin udara, tapi tanpa atasi akar masalah—emisi dan lahan bakar—polusi balik lagi.”
Di Indonesia, kita kenal teknologi serupa. BMKG pernah uji coba cloud seeding di Riau 2023 buat lawan kebakaran hutan, kurangi asap 15% dalam 3 hari (data BMKG). Tapi, tantangan sama: biaya mahal, cuaca harus mendukung (awan cukup tebal), dan efek nggak permanen. Di New Delhi, musim dingin bikin awan langka, jadi keberhasilan proyek ini 50:50.
Dampak ke Rakyat: Harapan dan Realitas
Buat warga New Delhi kayak Ravi (32), penjaga toko di Chandni Chowk, polusi bukan cuma soal statistik. “Mata perih, anakku batuk seminggu. Kalau hujan buatan bikin udara bersih, kami dukung,” katanya. Tapi, ada skeptisisme. Riset Greenpeace India (2024) bilang 70% warga Delhi nggak percaya solusi teknologi tanpa kebijakan ketat, seperti larang pembakaran lahan atau kurangi kendaraan diesel. Biaya Rp 1,5 miliar per sesi juga bikin orang tanya: “Kenapa nggak dipake bikin transportasi umum listrik?”
Di Indonesia, kita juga hadapi polusi. Jakarta AQI pernah capai 150 (kategori “tidak sehat”) Oktober 2025 (data KLHK), meski nggak separah Delhi. Kisah Delhi jadi cermin: teknologi seperti hujan buatan bisa bantu, tapi akar masalah—PLTU batu bara, kendaraan, dan kebakaran lahan—harus ditangani. Dr. Budi Haryanto (UI) bilang, “Indonesia bisa belajar dari Delhi: teknologi oke, tapi kebijakan jangka panjang lebih penting.”
Solusi dan Langkah ke Depan
Buat New Delhi, hujan buatan cuma langkah awal. Solusi nyata butuh kombinasi:
- Kebijakan Anti-Polusi: Larang total pembakaran lahan di Punjab-Haryana, dengan subsidi pupuk organik buat petani (seperti program Kementan RI 2024).
- Transportasi Hijau: Delhi butuh tambah bus listrik (cuma 1.200 dari 10.000 bus saat ini) dan MRT, mirip Jakarta target 100% kendaraan umum listrik 2030 (KLHK).
- Edukasi Publik: Kampanye anti-petasan saat Diwali, seperti Jakarta larang kembang api di Ancol (2024).
- Monitoring Teknologi: Cloud seeding perlu data cuaca real-time dan evaluasi dampak lingkungan, biar nggak sia-sia.
Buat Indonesia, kisah Delhi ngingetin kita: polusi udara di Jakarta, Palembang, atau Riau nggak beda jauh. Teknologi kayak cloud seeding bisa jadi jembatan, tapi tanpa kebijakan ketat, kita cuma nunda masalah. Seperti kata Ravi: “Hujan buatan bagus, tapi kami pengen napas lega setiap hari, bukan cuma seminggu.”
📌 Sumber: CNN Indonesia, Indian Express, Lancet (2023), Greenpeace India (2024), BMKG, KLHK, diolah oleh tim kilasanberita.id.
