Pengetahuan Umum

Polemik Fungsi Sosial Masjid: Ketika Kemenag Melegitimasi Istirahat, Menjaga Batasan Kesucian dan Ketertiban

Jakarta— Wacana tentang penggunaan masjid sebagai ruang istirahat atau singgah bagi musafir, atau bahkan warga urban yang membutuhkan tempat berteduh, bukanlah hal baru. Ini adalah praktik yang berakar kuat dalam sejarah peradaban Islam, di mana masjid (jami’) secara tradisional berfungsi sebagai pusat komunitas yang melampaui sekadar tempat salat—ia adalah madrasah, balai pertemuan, dan bahkan tempat persinggahan (musafir khana). Namun, dalam konteks modern Indonesia yang sarat dengan dinamika perkotaan dan keterbatasan ruang publik, kebijakan terkait istirahat di masjid kembali memicu diskusi mendalam.

Pernyataan Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini yang menegaskan bahwa masyarakat tidak dilarang beristirahat di masjid, dengan catatan krusial menjaga ketertiban dan kesucian, mencoba menjembatani norma agama tradisional dengan kebutuhan sosial kontemporer. Pernyataan ini sekaligus menjadi respons terhadap persepsi publik yang terkadang menganggap istirahat di rumah ibadah sebagai tindakan yang kurang pantas atau melanggar adab.

Persinggungan Dua Fungsi: Ibadah vs Sosial

Kemenag, melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, secara implisit melegitimasi fungsi sosial masjid sebagai public space yang inklusif. Secara historis, fungsi ini memang diakui. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Masjid Nabawi sering digunakan sebagai tempat menginap (ahlus suffah), bahkan untuk kegiatan-kegiatan non-ibadah yang bertujuan menguatkan komunitas.

Namun, di era kiwari, batas antara fungsi ibadah murni dan fungsi sosial seringkali memicu ketegangan:

  1. Isu Ketertiban dan Kebersihan: Ketika masjid digunakan sebagai tempat istirahat, risiko kebersihan dan ketertiban menjadi tantangan utama. Sampah, barang bawaan yang menumpuk, hingga potensi konflik antar pengguna dapat mengganggu kekhusyukan jamaah yang beribadah.
  2. Isu Kesucian dan Etika: Pertimbangan fiqih (hukum Islam) mengenai kesucian (thaharah) harus dijaga. Aktivitas seperti makan, tidur, atau membawa barang kotor di area salat utama menjadi titik sensitif yang harus diatur ketat oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM).

Dengan adanya sinyal persetujuan dari Kemenag, fokus kini harus bergeser dari “boleh atau tidak” menjadi “bagaimana cara mengelola” agar dua fungsi ini dapat berjalan harmonis tanpa saling merusak esensi.

Tata Kelola dan Tanggung Jawab DKM

Kunci dari keberhasilan kebijakan ini terletak pada tata kelola dan regulasi internal DKM. Masjid-masjid besar di jalur-jalur mudik atau perkotaan padat penduduk seringkali tak terhindarkan menjadi rest area darurat.

Idealnya, DKM perlu membuat kebijakan zonasi yang jelas:

  • Zona Ibadah Utama: Harus steril dari aktivitas tidur, makan, atau barang bawaan yang berpotensi mengganggu kesucian.
  • Zona Multipurpose (Serambi/Pelataran): Area ini dapat dialokasikan sebagai tempat singgah sementara dengan batasan waktu yang jelas.
  • Fasilitas Pendukung: Penyediaan toilet yang memadai, tempat wudu yang bersih, dan mungkin loker penitipan barang menjadi penting untuk mendukung fungsi istirahat yang tertib.

Pernyataan Kemenag memberi angin segar bagi masyarakat, terutama mereka yang rentan—seperti musafir dengan anggaran terbatas, atau pekerja urban yang kesulitan mencari tempat berlindung. Ini adalah wujud konkret dari filosofi ta’awun (tolong-menolong) dalam Islam yang termanifestasi dalam arsitektur sosial.

Implikasi bagi Ruang Publik Urban

Secara sosiologis, peningkatan penggunaan masjid sebagai tempat istirahat juga menyoroti defisit ruang publik yang aman dan terjangkau di kota-kota besar Indonesia. Ketika infrastruktur umum seperti taman atau shelter publik terbatas, masjid secara otomatis menjadi pilihan default bagi masyarakat.

Oleh karena itu, pernyataan Kemenag juga bisa dibaca sebagai seruan tersirat agar DKM tidak bersikap eksklusif atau elitis. Masjid harus tetap menjadi “rumah Allah” yang terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan perlindungan fisik dan spiritual, tanpa memandang kelas sosial atau tujuan perjalanan.

Namun, DKM harus berhati-hati agar fungsi akomodasi ini tidak bergeser menjadi komersialisasi terselubung atau, sebaliknya, menjadi lahan bagi penyalahgunaan. Pengawasan yang ketat dan edukasi etika penggunaan masjid menjadi prasyarat mutlak.

Pada akhirnya, masjid adalah barometer kesehatan sosial sebuah komunitas. Ketika ia mampu mengakomodasi kebutuhan spiritual (salat) dan kebutuhan fisik (istirahat) secara harmonis, ia telah berhasil memainkan peran historisnya sebagai pusat peradaban yang inklusif dan solutif.

Related KeywordsFungsi masjid, etika di masjid, masjid sebagai rest area, tata kelola masjid, Kemenag istirahat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *