Antara Urgensi dan Tuduhan “Pemutihan” Masa Kelam: Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Jakarta, 8 September 2025 – Rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, memicu perdebatan sengit. Sebagian pihak menyebutnya penting sebagai pembaruan narasi, sementara lainnya menuduh adanya upaya pemutihan sejarah Orde Baru dan bahkan peninjauan pembahasan pelanggaran HAM berat.
Proyek Penulisan Ulang: Tujuan Versus Kritik
Menurut Fadli Zon, proyek dimaksud dibutuhkan untuk mengisi kekosongan narasi sejarah nasional yang telah lama vakum—sejak era Presiden BJ Habibie—dan untuk menciptakan identitas bangsa yang Indonesia-sentris. Penulisan yang melibatkan 133 sejarawan dari 34 provinsi ditargetkan selesai Agustus 2025, bertepatan dengan HUT ke-80 RI, serta akan diuji publik untuk masukan lebih luas.
Namun, penolakan serius datang dari akademisi dan aktivis sipil. Koalisi masyarakat sipil bahkan menyebut proyek ini sebagai upaya pemutihan sejarah Orde Baru dan potensi upaya pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto secara tidak proporsional.
Isu “Pemutihan” dan Interpretative Denial
Fadli Zon menuai kritik tajam ketika menyatakan bahwa istilah “pemerkosaan massal” dalam kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti hukum kuat. Pernyataan tersebut dianggap melecehkan korban dan menyalahi dokumentasi resmi seperti laporan TGPF, Komnas Perempuan, dan PBB.
Sejarawan dari Fraksi PDIP, Bonnie Triyana, memandang proyek berpotensi menimbulkan “interpretative denial”—pengakuan atas pelanggaran HAM, namun secara halus mereduksi maknanya. Sedangkan arkeolog Harry Truman Simanjuntak khawatir istilah “Indonesia-sentris” mengaburkan objektivitas ilmiah demi narasi politik.
Proses Tertutup dan Tafsir Tunggal
Kritik terhadap proyek ini juga menyerang prosedur pembentukannya yang dianggap tertutup dan terburu-buru. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyebut metode penyusunan sejarah harus terbuka dan melibatkan berbagai suara, agar tidak berpotensi menjadi tafsir tunggal negara.
Pemerintah diminta tidak mengulang pola Orde Baru yang dominan melalui “sejarah resmi”, meminggirkan narasi alternatif—seperti kontribusi pergerakan perempuan atau tokoh lokal yang sering terlupa.
Representasi Perempuan dan Kelompok Terpinggirkan
Kelompok perempuan dan korban pelanggaran HAM mengritik bahwa sejarah baru ini menghapus peran penting mereka dari narasi sejarah nasional. Sejarawan Ita Fatia Nadia menyoroti betapa periode keemasan gerakan perempuan, seperti Kongres Perempuan 1928, diabaikan dalam penulisan ulang. Padahal, narasi jenis inilah yang membentuk identitas kolektif bangsa .
Ita juga menyebut bahwa draft sejarah ini mempromosikan ideologi militeristik dan patriarki, yang justru memperkosa perspektif gender inklusif .
Kontra Narasi & Historis Otoritarianisme
Sebagai upaya menyajikan narasi alternatif, terbitlah buku Kronik Otoritarianisme Indonesia, yang menyoroti sejarah otoritarianisme tanpa filter. Buku ini dianggap sebagai “kontra narasi” penting yang menantang narasi resmi pemerintah.
Khawatir Ulangi Pola Sejarah Orde Baru
Penulis sejarah kontemporer menggarisbawahi bahwa proyek ini bersifat struktural dan mirip dengan upaya penulisan sejarah era Orde Baru (1975) yang juga bertujuan meng-legitimasi kekuasaan, menurunkan peran Soekarno, dan membentuk narasi tunggal.
Pandangan Tokoh Nasional
Muhammad Mahfud MD secara tegas menolak negara menetapkan versi sejarah resmi. Ia menyampaikan bahwa narasi sejarah sebaiknya dinyatakan secara ringkas dan faktual, sementara detail kompleks diserahkan kepada akademisi dan ilmuwan bebas.
Historis HAM dan Diskusi Terbuka
Beberapa pihak berharap agar 12 pelanggaran HAM berat—yang diakui pemerintahan Presiden Joko Widodo—dimasukkan ke dalam narasi sejarah. Sejarawan seperti Andi Achdian menyarankan proses penulisan sejarah diserahkan kepada universitas atau pihak yang bebas dari pengaruh pemerintah.
Ringkasan Kontroversi
Dimensi | Rincian |
---|---|
Tujuan pemerintah | Mengisi narasi kosong, Indonesia-sentris, selesai Agustus 2025 |
Kritik utama | Pemutihan sejarah, tafsir tunggal, penghilangan narasi minoritas |
Isu krusial | Pemerkosaan Mei 1998, pelanggaran HAM berat, militerisme, gender |
Alternatif munculnya | Buku Kronik Otoritarianisme dan sejarah lokal lebih inklusif |
Rekomendasi ahli | Proses terbuka, libatkan akademisi bebas, jabarkan fakta plural |
Kesimpulan
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia merupakan momentum penting sekaligus risiko berat. Idealnya, revisi sejarah harus dilakukan dengan inklusivitas, transparansi, dan fundamen akademik kuat. Jika dikelola tanpa keterbukaan dan mengesampingkan suara kelompok terpinggir, proyek ini bisa menjadi alat politik yang melemahkan pluralisme—bukan memperkaya pemahaman bangsa.
