Manuskrip Bureng: Saksi Abadi Kejayaan Surapringga yang Kini Tersimpan di Qatar
Surabaya, 9 November 2025 – Di perpustakaan nasional Qatar, tersimpan sebuah manuskrip berabad-abad yang namanya jarang terdengar di luar lingkup ahli sejarah Nusantara: Manuskrip Bureng. Naskah kuno ini bukan sekadar koleksi bersejarah, melainkan petunjuk kuat bahwa Surabaya pada masa lalu — yang dikenal dengan nama Surapringga — merupakan pusat peradaban yang memiliki pemerintahan, struktur pemerintahan, alun-alun, masjid besar, bahkan keraton, jauh sebelum era kolonial menorehkan historiografinya.
Asal Usul Manuskrip Bureng
Manuskrip Bureng berasal dari Pondok Pesantren Bureng, sebuah lembaga pendidikan Islam tua yang terletak di kawasan Wonokromo, Surabaya. Lokasi tepatnya di Jalan Karangrejo VI Masjid II No. 2-4. Pesantren ini sezaman dengan Pondok Ndresmo, yang juga menjadi pusat pengajaran keagamaan dan pembinaan ulama di Surabaya pada abad ke-19.
Naskah ini ditulis menggunakan aksara Pegon — perpaduan aksara Arab dengan bahasa Jawa — yang banyak digunakan para ulama Nusantara untuk menulis karya keagamaan dan sejarah lokal. Manuskrip Bureng mencatat nama lama Surabaya: Negari Besar Surapringga atau Balad Kabir Surapringga. Istilah-istilah tersebut mengungkap bahwa Surabaya bukan hanya sebuah pelabuhan atau kota dagang, melainkan sebuah entitas politik dan sosial yang besar dan beradab.
Isi dan Nilai Historis Manuskrip
Salah satu bagian paling menarik dari manuskrip ini adalah indikasi waktu penulisannya. Penyalin menuliskan bahwa naskah tersebut selesai dibuat pada hari Senin, bulan Rabi’ul Akhir tanggal 15 … dan tanggal 8 Rabiul Awal tahun Hijriah 1274, yang apabila dikonversikan ke kalender Masehi adalah sekitar tahun 1852. Artinya, manuskrip ini berusia lebih dari satu setengah abad, dan berada di tengah periode penting dalam sejarah Surabaya dan Jawa Timur.
Di dalamnya digambarkan bahwa Surapringga memiliki struktur pemerintahan lokal, alun-alun, masjid utama, dan kehadiran keraton. Terdapat pula narasi tentang lokasi yang sekarang dikenal sebagai Tugu Pahlawan sebagai kawasan yang dulu adalah pusat pemerintahan kolonial setelah mengalami pergeseran fungsi dari pusat kekuasaan lokal.
Kaitan dengan Kota Lain: Cirebon dan Banten
Manuskrip tersebut tidak hanya berbicara tentang Surabaya, tapi juga menyebut nama Cirebon, menunjukkan bahwa ada hubungan sosial, keagamaan, dan perdagangan antara Surapringga dan kota-kota di Jawa Barat tersebut. Pada abad ke-18 dan ke-19, kota-kota seperti Cirebon tidak hanya menjadi pusat dakwah dan penyebaran Islam, tapi juga menjadi mitra dalam jaringan perdagangan maritim dan pertukaran budaya dengan Surabaya.
Salah satu fakta menarik yang tercatat di Surabaya ialah adanya makam Sultan Banten terakhir, Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, yang dibuang oleh Belanda ke Surabaya. Ia tinggal dalam pengasingan dan meninggal dunia di Surabaya pada 1899, dimakamkan di kompleks Boto Putih. Kehadirannya di Surabaya adalah bukti nyata hubungan antara Surapringga, Cirebon, dan Banten pada masa itu.
Pesantren Bureng dan Tradisi Penulisan Lokal
Pondok Pesantren Bureng memainkan peran penting dalam pelestarian tradisi tulis menulis di Surabaya. Di pesantren inilah manuskrip oleh para ulama lokal dikembangkan, dilestarikan, dan ditransmisikan ke generasi selanjutnya. Penggunaan aksara Pegon menunjukkan adaptasi lokal dalam menyerap warisan keilmuan Arab dengan bahasa Jawa, sesuai budaya setempat.
Manuskrip Bureng tidak sendirian dalam tradisi ini; pesantren-pesantren lain di Surabaya juga menghasilkan karya-karya serupa, yang seringkali menyatu dengan kegiatan keagamaan, pengajaran Islam, dan administrasi lokal. Namun, Manuskrip Bureng menjadi istimewa karena konteks geografisnya — Surapringga sebagai kota besar — dan usianya yang sudah cukup tua.
Manuskrip di Qatar: Pertanyaan dan Tantangan
Meskipun berasal dari Surabaya, manuskrip ini sekarang tersimpan dengan aman di Qatar National Library. Keberadaannya jauh dari tempat asalnya menimbulkan beberapa pertanyaan penting: bagaimana naskah itu bisa berpindah, melalui jalur apa, dan siapa yang bertanggung jawab atas pemindahan atau akuisisinya.
Selain itu, akses terhadap manuskrip seperti ini bagi sejarawan lokal dan publik seringkali terbatas. Perlu upaya kolaboratif antara perpustakaan internasional dan institusi di Surabaya agar salinan manuskrip bisa diakses luas, baik secara digital maupun fisik. Ini penting supaya warisan sejarah Surapringga tidak sekadar menjadi data di luar negeri, tapi turut memperkaya historiografi lokal.
Pentingnya Manuskrip Bureng bagi Identitas Surabaya
Manuskrip Bureng membawa nilai lebih daripada sekadar dokumen sejarah: ia adalah cermin identitas budaya dan religius Surabaya. Mengetahui bahwa Surapringga memiliki keraton, masjid besar, alun-alun, dan sistem pemerintahan lokal memberi konteks bahwa Surabaya bukan dibangun dari nol oleh kolonial, tapi memiliki akar yang kuat sebelum era penjajahan.
Penemuan dan pengakuan keberadaan naskah ini memberi ruang bagi generasi muda untuk memahami bahwa kota mereka memiliki sejarah yang kaya dan panjang. Hal ini juga memperkuat kebanggaan lokal dan potensi pengembangan studi sejarah kota, budaya, dan relasi antarwilayah di Indonesia.
Peran Peneliti dan Generasi Muda
Untuk memaksimalkan manfaat Manuskrip Bureng, peran peneliti, akademisi, dan generasi muda sangat krusial. Beberapa langkah yang dapat ditempuh:
- Digitalisasi manuskrip agar bisa diakses secara online, misalnya dengan kerja sama antara perpustakaan Qatar dan lembaga riset di Surabaya.
- Penerjemahan dan transkripsi dari aksara Pegon ke aksara Latin agar lebih mudah dipahami.
- Kajian lintas disiplin — sejarah, antropologi, agama, sastra — agar isi manuskrip bisa dihubungkan dengan bukti arkeologis, arsitektur, dan sumber sejarah lain.
- Pendidikan dan kurikulum lokal supaya konten seperti ini masuk dalam materi pembelajaran sejarah kota Surabaya.
Kesimpulan
Manuskrip Bureng bukan hanya dokumen tua, tetapi jendela masa lalu yang memperlihatkan Surabaya sebagai sebuah kota besar dengan identitas politik, keagamaan, dan budaya yang kuat. Dengan usia lebih dari 170 tahun, naskah ini menghubungkan Surapringga dengan eksperimen sosial-keagamaan masa lalu, hubungan antarwilayah seperti Surabaya-Cirebon-Banten, dan tradisi pesantren di Jawa.
Kini, manuskrip itu berada di Qatar, jauh dari asalnya, tetapi nilainya tetap tinggi — sebagai warisan intelektual dan kerohanian warga Surabaya dan bangsa. Tantangannya adalah bagaimana menjembatani jarak geografis ini dengan akses pengetahuan, agar manuskrip tidak jadi hanya koleksi asing, tetapi bagian hidup dari sejarah lokal yang tetap dipelajari dan dihormati.
