ABH Pelaku Ledakan SMA 72 Tinggal Bersama Ayah, Ibu Bekerja di Luar Negeri
Jakarta — Dalam penyidikan terhadap insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat (7 November 2025), aparat mengungkap fakta baru mengenai kondisi keluarga terduga pelaku yang masih berstatus anak berkonflik dengan hukum (ABH). Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Budi Hermanto menyebut bahwa terduga pelaku tinggal bersama ayahnya, sementara sang ibu bekerja di luar negeri.
Situasi Keluarga dan Lingkungan Pelaku
Menurut keterangan polisi, pelaku ABH sehari-hari tinggal dengan ayahnya yang bekerja, sedangkan ibunya tidak berada di rumah karena menjalani pekerjaan di luar negeri.
Kondisi ini menjadi sorotan dalam proses penyidikan karena pihak kepolisian mencatat bahwa pelaku merasa “tidak punya ruang curhat” baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Dalam jumpa pers, Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol. Iman Imanuddin mengatakan:
“Yang bersangkutan merasa sendiri kemudian merasa tak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah.”
Hal ini membuka perspektif bahwa kondisi keluarga, pengawasan orang tua, dan kesejahteraan emosional anak bisa memainkan peran penting dalam pemicu tindakan ekstrem.
Kronologi dan Penetapan Status Pelaku
Peristiwa ledakan terjadi di area masjid sekolah SMA 72 Jakarta pada Jumat (7 November 2025), saat Salat Jumat berlangsung. Korban luka dilaporkan mencapai 96 orang.
Setelah penyelidikan, pihak kepolisian telah menetapkan pelaku sebagai ABH (anak berkonflik dengan hukum), dan mengatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara mandiri — bukan oleh jaringan terorisme besar.
Tinjauan Kondisi Sosial Pelaku
Faktor-faktor yang diangkat dalam penyidikan mencakup:
- Kehadiran orang tua: Ayah tinggal bersama, namun ibu berada jauh, yang bisa berdampak pada pengasuhan dan pengawasan.
- Ruang curhat terbatas: Pelaku merasa tidak punya pihak yang bisa diajak bicara dan mengungkapkan keluh kesah, baik di rumah maupun sekolah.
- Tekanan sosial & sekolah: Lingkungan sekolah sebagai titik kumpul anak muda bisa jadi ruang rentan jika dukungan emosional dan bimbingan belum memadai.
- Akses ke konten & pengaruh luar: Walaupun belum terbukti adanya jaringan besar, pihak berwenang mengindikasikan bahwa ada faktor pemicu internal yang belum sepenuhnya terungkap.
Implikasi Kejadian bagi Sekolah dan Orang Tua
Kasus ini mengangkat beberapa peringatan penting:
- Sekolah perlu memperkuat mekanisme deteksi dini dan bimbingan psikososial bagi siswa yang mungkin merasa terisolasi atau bermasalah di ranah keluarga.
- Orang tua yang bekerja di luar negeri atau jauh dari anak perlu memastikan adanya sistem komunikasi yang memadai dan pengawasan terhadap kondisi anak.
- Pemerintah dan lembaga pendidikan harus menggarisbawahi bahwa kondisi mental dan emosional siswa adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan sekolah — bukan hanya infrastruktur fisik.
- Peran orang tua, keluarga, guru, dan konselor menjadi krusial sebagai jaringan dukungan bagi remaja dalam menghadapi tekanan sekolah, sosial dan media digital.
Apa yang Diketahui Hingga Kini & Proses Selanjutnya
Pihak Polda Metro Jaya menjelaskan bahwa:
- Pelaku ABH sudah diperiksa dan koordinasi dengan Unit Pelayanan Perempuan & Anak (PPA) serta instansi terkait sedang dilakukan.
- Penyelidikan masih berlangsung untuk mencari motivasi pasti pelaku — termasuk apakah ada faktor eksternal (teman, media, konten) yang mempengaruhi tindakan tersebut.
- Polisi juga belum menemukan bukti koneksi dengan jaringan teror tertentu, sehingga kasus masih dipandang sebagai aksi individual remaja yang merasa terdesak atau tidak punya saluran curhat.
Kesimpulan
Terungkapnya kondisi pribadi pelaku — tinggal bersama ayah sementara ibu bekerja di luar negeri, dan merasa “tak punya tempat curhat” — memberi sudut pandang baru terkait tragedi ledakan di SMA 72. Tidak sekadar soal pengamanan fisik sekolah, tetapi juga soal kesehatan mental dan dukungan sosial bagi siswa yang mungkin mengalami kerentanan emosional.
Kejadian ini menjadi alarm bahwa lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat harus lebih waspada terhadap sinyal anak yang terisolasi, dan bahwa pendidikan karakter serta pengawasan emosional tak kalah penting dibanding keamanan fisik.

