Dari Sopir Angkot Poligami hingga Pasangan Muda Hanya Punya Satu Anak
Indonesia pernah mengalami masa ketika profesi sopir angkot dianggap cukup mapan. Pendapatan mereka di era 1980–1990-an bisa menanggung hidup keluarga besar, bahkan ada yang mampu berpoligami. Namun kini, realitas berbeda.
Pasangan muda zaman sekarang justru banyak yang memilih cukup satu anak saja, dengan alasan ekonomi, gaya hidup, hingga kesehatan mental. Pergeseran ini menunjukkan betapa besarnya perubahan sosial dan ekonomi yang dialami masyarakat dalam beberapa dekade terakhir.
Masa Lalu: Sopir Angkot dan Kemakmuran Relatif
Di masa jayanya, angkot adalah moda transportasi utama di kota-kota besar. Sopir angkot bisa mengantongi pendapatan harian yang stabil, bahkan di atas rata-rata UMR saat itu.
Dengan biaya hidup yang masih rendah, banyak sopir mampu membeli rumah, membiayai sekolah anak, bahkan menikah lebih dari sekali. Poligami kala itu tidak hanya soal pilihan agama atau budaya, tetapi juga soal kemampuan finansial yang memungkinkan.
Masa Kini: Realitas Ekonomi yang Berbeda
Hari ini, ceritanya jauh berbeda. Profesi sopir angkot mengalami penurunan pamor drastis sejak hadirnya transportasi online dan kebijakan transportasi massal modern.
Sementara itu, biaya hidup justru melonjak:
- Harga rumah tidak terjangkau bagi kelas pekerja.
- Biaya pendidikan terus meningkat.
- Kebutuhan gaya hidup urban makin banyak.
Dalam kondisi seperti ini, banyak pasangan muda merasa bahwa menanggung satu anak saja sudah cukup berat.
Pergeseran Pola Pikir Generasi
Fenomena ini juga berkaitan dengan pola pikir generasi. Generasi milenial dan Gen Z yang kini memasuki usia menikah lebih sadar akan pentingnya kualitas hidup. Mereka tidak hanya memikirkan bisa memberi makan anak, tetapi juga kualitas pendidikan, kesehatan, hingga kebahagiaan keluarga.
Bagi mereka, punya satu anak dengan masa depan cerah lebih baik daripada banyak anak tapi penuh keterbatasan.
“Kami ingin fokus mendidik satu anak agar benar-benar mendapat perhatian penuh,” kata seorang pasangan muda di Jakarta.
Faktor Psikologis dan Kesehatan Mental
Tekanan hidup di kota besar juga memengaruhi keputusan pasangan muda. Jam kerja panjang, tekanan ekonomi, dan minimnya dukungan sosial membuat banyak orang merasa sulit mengurus banyak anak.
Peran ibu pun berubah. Banyak perempuan modern yang ingin tetap berkarier, sehingga jumlah anak yang sedikit dianggap lebih realistis untuk menjaga keseimbangan hidup.
Internal Link: Fenomena Sosial di Indonesia
Baca juga berbagai fenomena sosial dan gaya hidup masyarakat hanya di kilasanberita.id.
Antara Romantisme Masa Lalu dan Realita Hari Ini
Perubahan ini sering menimbulkan nostalgia. Banyak orang tua yang membandingkan kondisi dulu dengan sekarang. Namun, kenyataannya, struktur ekonomi dan sosial sudah berubah.
Jika dulu sopir angkot bisa berpoligami, kini bahkan pekerja kantoran pun banyak yang menunda punya anak atau memilih hanya satu.
Penutup: Pilihan Generasi Baru
Fenomena pasangan muda hanya punya satu anak adalah gambaran nyata bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kondisi zaman. Tidak lagi soal gengsi atau tradisi, melainkan soal kemampuan finansial, kualitas hidup, dan keseimbangan mental.
Perubahan ini mungkin terlihat drastis, tetapi menjadi refleksi bahwa generasi baru berusaha mencari jalan hidup yang paling sesuai dengan realitas.
Ikuti terus analisis sosial-budaya hanya di kilasanberita.id.