Berita

Tragedi di Balik Misi Gizi: Ketika Mobil Program Negara Merenggut Senyum Siswa SD

JAKARTA, kilasanberita.id – Di atas kertas, program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah wujud kasih sayang negara. Ia dirancang untuk memastikan tunas-tunas bangsa tumbuh sehat, cerdas, dan bebas dari ancaman stunting. Namun, di sebuah jalanan yang seharusnya aman bagi anak-anak, misi mulia ini berubah menjadi petaka yang mengerikan. Sebuah mobil operasional pengantar makanan—yang semestinya mengantar harapan—justru menjadi mesin penghancur masa depan seorang siswa Sekolah Dasar (SD).

Berita yang menyeruak dari Sukabumi ini bukan sekadar statistik kecelakaan lalu lintas harian. Ini adalah narasi kelam tentang bagaimana kelalaian operasional dapat mencoreng wajah program prioritas nasional. Korban, seorang bocah yang seharusnya sedang menikmati masa bermainnya, kini harus menanggung derita fisik yang tak terbayangkan: wajah yang terluka parah dan kehilangan 18 gigi sekaligus akibat hantaman kendaraan.

Senyum yang Terenggut Paksa

Sulit membayangkan rasa sakit yang harus ditanggung oleh tubuh mungil itu. Kehilangan 18 gigi dalam satu insiden bukanlah cedera ringan. Dalam dunia medis, ini adalah trauma maksilofasial mayor yang berdampak jangka panjang.

Gigi bukan sekadar alat pengunyah; bagi seorang anak, gigi adalah instrumen bicara dan fondasi kepercayaan diri. Kehilangan hampir seluruh gigi di usia pertumbuhan berarti gangguan fungsi makan, kesulitan artikulasi bicara, hingga potensi trauma psikologis yang mendalam akibat perubahan bentuk wajah.

Insiden ini menjadi ironi yang menyayat hati. Program MBG yang bertujuan memperbaiki asupan nutrisi agar anak bisa makan dengan lahap, justru kendaraannya membuat seorang anak kehilangan kemampuan untuk mengunyah makanan itu sendiri. Niat memberikan gizi, apa daya justru merenggut senyum.

Mengejar Target, Mengabaikan Selamat?

Kecelakaan ini memaksa kita untuk menengok ke belakang layar operasional program MBG. Program ini dijalankan dengan target yang ambisius: jutaan porsi makanan harus sampai ke ribuan sekolah dalam rentang waktu yang sempit (jam makan siang).

Dalam manajemen logistik, tekanan waktu (time pressure) seringkali berbanding terbalik dengan keselamatan (safety). Apakah pengemudi mobil operasional tersebut sedang dalam kondisi terburu-buru mengejar target distribusi? Apakah ada standar kualifikasi khusus bagi para pengemudi yang membawa atribut program negara ini, terutama saat memasuki zona sekolah yang padat anak-anak?

Zona sekolah (School Zone) seharusnya menjadi area suci (sanctuary) di mana kendaraan bermotor wajib melaju dengan kecepatan siput dan kewaspadaan elang. Namun, fakta di lapangan seringkali berbeda. Mobilisasi logistik program pemerintah yang masif seringkali menciptakan hiruk-pikuk baru di sekitar sekolah yang infrastruktur keselamatannya belum siap.

Tanggung Jawab Negara: Melampaui Santunan

Kasus ini tidak boleh berhenti pada penyelesaian kekeluargaan atau santunan ala kadarnya. Mobil yang menabrak adalah bagian dari rantai pasok program strategis nasional. Artinya, ada tanggung jawab negara yang melekat di sana.

Pemerintah, melalui badan pelaksana MBG, harus menjamin pemulihan total bagi korban. Ini bukan hanya soal biaya operasi jahitan wajah. Negara harus menanggung biaya rekonstruksi gigi dan rahang—yang mungkin membutuhkan serangkaian operasi bertahun-tahun hingga korban dewasa—serta pendampingan psikologis untuk memulihkan trauma pasca-kecelakaan (PTSD).

Jangan sampai korban menjadi “tumbal” dari sebuah program besar. Jika negara mampu menganggarkan triliunan rupiah untuk makanan, negara juga harus mampu mengalokasikan dana darurat untuk menanggung risiko operasional yang ditimbulkan oleh program tersebut.

Alarm Evaluasi SOP Distribusi

Tragedi ini harus menjadi titik balik (turning point) bagi evaluasi Standar Operasional Prosedur (SOP) distribusi MBG.

Pertama, kelaikan kendaraan dan pengemudi. Pastikan armada yang digunakan layak jalan dan pengemudi memiliki rekam jejak keselamatan yang baik, bukan sekadar sopir tembak yang direkrut dadakan demi memenuhi kuota armada.

Kedua, protokol zona sekolah. Harus ada aturan ketat mengenai drop-off point (titik penurunan) makanan. Mobil pengantar tidak boleh bermanuver liar di area di mana siswa sedang berkerumun. Jika perlu, harus ada petugas marshal yang memandu saat kendaraan logistik masuk ke lingkungan sekolah.

Ketiga, pengawasan rute dan waktu. Jangan membuat jadwal pengiriman yang tidak realistis sehingga memaksa pengemudi memacu kendaraan secara ugal-ugalan demi mengejar jam makan siang siswa.

Penutup: Jangan Ada Lagi Gigi yang Tanggal

Satu gigi siswa yang tanggal karena kelalaian program negara adalah terlalu banyak, apalagi delapan belas. Kejadian ini adalah tamparan keras bagi wajah birokrasi kita. Di balik gembar-gembor kesuksesan distribusi ribuan porsi makanan, ada nyawa dan keselamatan anak-anak yang harus dijaga lebih ketat daripada kualitas makanannya itu sendiri.

Masyarakat mendukung penuh program perbaikan gizi, namun dukungan itu tidak buta. Publik menuntut profesionalisme dan jaminan keamanan. Jangan biarkan program mulia ini ternoda oleh darah di aspal sekolah. Senyum korban yang hilang hari ini harus dibayar dengan perbaikan sistem yang menyeluruh, agar tidak ada lagi anak Indonesia yang berangkat sekolah untuk mencari ilmu dan gizi, namun pulang membawa trauma seumur hidup.

Related Keywords: kecelakaan mobil dapur umum, evaluasi program makan bergizi gratis, keselamatan zona sekolah, trauma anak korban kecelakaan, sop distribusi mbg.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *