Ambon – Pada malam hari tanggal 17 Februari 1674, wilayah Ambon di Provinsi Maluku dilanda gempa besar yang kemudian memicu tsunami dahsyat, dengan ketinggian gelombang yang diperkirakan mencapai hingga 100 meter. Catatan sejarah dan kesaksian warga pada masa itu menggambarkan suasana kengerian yang nyaris seperti “kiamat” melanda pesisir Ambon.
Menurut naturalis Belanda Georg Eberhard Rumphius yang menetap di Ambon selama masa kolonial, peristiwa itu berlangsung tanpa peringatan sebelumnya. Ia mencatat bagaimana saat pukul sekitar 19.30 waktu lokal tanah tiba‑tiba bergerak naik turun bak ombak laut, dan kemudian air laut menyapu daratan dengan cepat.
Warga yang berusaha lari naik ke dataran tinggi masih tertinggal, karena gelombang besar itu datang begitu cepat dan menumpahkan kekuatannya ke desa‑desa di pesisir. Banyak rumah hancur, batu karang terlempar jauh ke daratan, dan ribuan nyawa melayang.
Latar Belakang & Penyebab
Analisis geologi modern menunjukkan bahwa gempa yang memicu tsunami tersebut diperkirakan memiliki magnitudo sekitar M7,9.
Namun, faktor kunci yang menjelaskan gelombang sangat tinggi adalah adanya longsoran besar pada dasar laut yang dipicu oleh gempa tersebut — sebuah kombinasi yang memperkuat gelombang tsunami hingga ketinggian ekstrem.
Topografi Ambon yang dikelilingi laut dalam dan memiliki lereng‑lereng pantai curam turut memperkuat gelombang ketika menghantam daratan.
Dampak & Korban
Akibatnya, wilayah pesisir Ambon dan sekitarnya mengalami kerusakan parah. Catatan menyebut lebih dari 2.000 orang tewas, rumah‑rumah dan permukiman hancur, dan masyarakat yang selamat masih membawa trauma.
Rumphius sendiri mencatat bahwa “orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan” dan bahwa “air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atas rumah dan menyapu bersih desa.”
Pesan Untuk Masa Kini
Bencana yang terjadi di Ambon pada 1674 menjadi salah satu catatan tsunami terbesar dan terdahsyat di Nusantara.
Lembaga seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan bahwa risiko gempa dan tsunami di Maluku masih nyata, dan bahwa meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat adalah kunci untuk mengurangi dampak di masa depan.
Pelajaran utama dari peristiwa ini: masyarakat pesisir perlu memahami tanda‑tanda alam (gempa, tanah bergerak, air laut mundur), memiliki jalur evakuasi ke tempat tinggi, dan sistem peringatan dini yang efektif.
Kesimpulan
Tsunami setinggi sekitar 100 meter yang menghantam Ambon pada 17 Februari 1674 adalah peringatan kuat betapa dahsyatnya kekuatan alam saat gempa, topografi lokal, dan longsoran dasar laut bersatu. Kisah kesaksian warga seperti Rumphius menggambarkan rasa panik dan kehancuran yang melanda—seolah dunia berakhir dalam sekejap. Meski sudah terjadi ratusan tahun lalu, jejak bencana itu tetap relevan hari ini sebagai pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan bencana di wilayah rawan tsunami seperti Maluku.

